Monday, September 21, 2015

Pasar Modal Kita di tengah Ketidakpastian Global




Sejak awal Juni 2015 IHSG telah berada di bawah level psikologis 5.000, melanjutkan penurunan tajam di akhir April 2015. Sejak awal tahun hingga akhir Juni 2015, sebanyak 62% hari perdagangan diwarnai oleh net sell investor asing, meskipun secara kumulatif investor asing masih mencatatkan net buy sebesar Rp3,74 triliun. Namun nilai ini sangat kontras dibandingkan dengan nilai kumulatif net buy investor asing sebesar Rp44,1 triliun di periode yang sama di tahun 2014.

Dalam empat bulan terakhir, dapat dikatakan pasar modal kita mengalami peningkatan tingkat volatilitas yang cukup tajam. Kondisi ini disebabkan oleh pasar keuangan dunia yang sedang mengalami goncangan besar terutama terkait dengan fenomena krisis Yunani dan krisis pasar modal Cina. Kedua krisis ini terjadi di masa ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral AS masih terus membayangi pasar keuangan global.

Trisula kondisi ekonomi global yang tidak menyehatkan

Menyikapi krisis keuangan global tahun 2007/2008, sistem ekonomi dan keuangan global terus berada dalam rezim suku bunga yang sangat rendah. Hal ini kemudian berkembang menjadi trisula kondisi ekonomi global yang tidak menyehatkan, yaitu suku bunga yang sangat rendah, utang di berbagai negara yang berlebihan, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Diperkuat dengan jatuhnya harga minyak, trisula kondisi ekonomi global saat ini berdampak pada semakin meningkatnya ketidakstabilan ekonomi dan keuangan global.

Dalam situasi yang seperti ini, peran bank sentral di seluruh dunia semakin mendominasi di dalam sistem ekonomi dan keuangan. Di sisi lain, peran pemerintah dan lembaga lainnya di berbagai negara semakin tenggelam terutama untuk mendorong kebijakan fiskal yang sehat dan perubahan fundamental ekonomi di berbagai negara. Dengan semakin dekatnya kenaikan suku bunga bank sentral AS, tidak kurang dari 29 bank sentral di dunia telah melonggarkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan dan atau menangkal terjadinya deflasi, berdasarkan data Bank for International Settlements.

Ancaman krisis Yunani dan pasar modal Cina

Kegagalan Yunani membayar utangnya yang jatuh tempo dan buruknya negosiasi yang dilakukan kepada para kreditornya (bank sentral Eropa, IMF, dan Komisi Eropa) – juga disebut Troika –  telah memperbesar kemungkinan Yunani keluar dari zona Eropa. Di masa ketika Yunani belum mencapai kesepakatan dengan Troika, pasar keuangan global mengalami gejolak dan ketakutan akan dampaknya menyebar dengan luas ke berbagai pasar keuangan global. Pada waktu itu yield obligasi berbagai negara meningkat dengan tajam dan indeks saham di berbagai pasar modal dunia juga mengalami penurunan yang drastis dalam waktu singkat. 

Meskipun saat ini Yunani telah mencapai kesepakatan dengan para kreditornya, bagaimana penyelesaian krisis Yunani menjadi sangat vital bagi keutuhan zona Eropa dan juga akan menjadi acuan bagi negara-negara lain dalam penyelesaian permasalahan utangnya ketika berada dalam posisi Yunani. Oleh karenanya risiko krisis Yunani masih akan membayangi, penyebarannya terutama melalui Spanyol dan Italia, dua negara yang paling rentan terpapar krisis ini.

Di tempat lain, pasar modal Cina dianggap telah mengalami bubble dan kemudian nilai asetnya menurun dengan tajam dalam waktu yang singkat. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Cina telah melakukan berbagai langkah antisipasi. Tetapi, di balik kondisi ini terdapat risiko yang dapat mengancam perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina lebih dalam. Apa yang terjadi di pasar modal Cina dikhawatirkan akan mendorong Cina untuk mengalami hard landing dalam ekonominya. Krisis saat ini menambah permasalahan ekonomi Cina menjadi semakin kompleks, setelah sebelumnya mengalami buble di pasar properti dan penyaluran kredit yang berlebihan di sektor tambang.

Perkembangan domestik yang lamban

Perkembangan ekonomi domestik masih belum banyak memberikan sentimen positif bagi pasar modal. Pemerintahan saat ini memang patut dipuji telah memiliki niat untuk mempercepat pembangunan berbagai infrastruktur vital, tetapi realisasi belanja negara yang lemah dan ketidakefektifan pemerintahan membuat program pembangunan berjalan begitu lambat. Harga-harga komoditas dan Rupiah pun masih terus tertekan sehingga membawa ekonomi kita berjalan dalam perlambatan.

Dengan berbagai kondisi global yang masih belum menguntungkan serta perlambatan ekonomi domestik, kami menilai IHSG masih akan cenderung tertekan sebelum adanya sentimen positif dari dalam negeri. Peran pemerintah dalam perbaikan ekonomi menjadi sangat vital, selain peran bank sentral dan Otoritas Jasa Keuangan yang juga perlu melakukan berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan. Kami berharap, semoga pemerintah dapat melakukan terobosan dalam hal kebijakan fiskal dan juga mempercepat realisasi berbagai program pembangunannya.


Guntur Tri Hariyanto, CSA, CRP
PEFINDO Newsletter, Agustus 2015 

Thursday, March 26, 2015

Antisipasi Kenaikan Fed Rate




Belakangan ini, terjadi peningkatan volatilitas di pasar modal Indonesia terutama dipicu oleh semakin dekatnya kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Hal tersebut memberikan kekhawatiran akan keluarnya investasi asing dari pasar modal Indonesia, sehingga akan menurunkan nilai dan kapitalisasi saham. Bagaimana sebenarnya kondisi pasar modal kita dan bagaimana kita menyikapi kemungkinan kenaikan Fed rate?

Pasar modal Indonesia masih masuk dalam kategori emerging market. Hal ini terutama ekonomi Indonesia masih masuk dalam kategori berpendatan rendah dan kapitalisasi pasar modal Indonesia terhadap PDB juga masih rendah (sekitar 50%). Hal ini menunjukkan realitas mengenai tingkat pengetahuan keuangan atau financial literacy dan pemanfaatan produk keuangan di negara ini yang masih rendah. Bahkan jumlah investor di pasar modal pun masih sangat rendah, masih jauh di basah rasio 1% penduduk.

Dengan kondisi tersebut di atas, nilai investasi investor domestik ke pasar menjadi kurang kompetitif terhadap porsi investasi asing. Diperkirakan kepemilikan aset investor asing di pasar modal domestik mencapai sekitar 60%, meskipun dalam kegiatan transaksi perdagangan, investor domestik masih lebih menguasai. Besarnya porsi kepemilikan aset oleh asing membuat pasar modal kita menjadi lebih sensitif terhadap perkembangan pasar keuangan global. Terlebih apabila dana yang masuk bersifat hot money, atau uang yang sifatnya bukan untuk investasi jangka panjang.

 Untuk meningkatkan kepercayaan investor asing di pasar modal maupun meningkatkan daya tahan pasar modal kita salah satu caranya adalah meningkatkan kualitas transparansi dan governance pasar modal maupun para emiten yang ada. Selain itu pemberian insentif terutama terkait biaya transaksi dan biaya lainnya sehingga dapat menarik investor. Dalam hal ini, peran BEI selaku pengelola pasar modal yang menjadi harapan.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi makro Indonesia juga berpengaruh untuk menarik investor berinvestasi di pasar modal. Oleh karenanya pembenahan struktur ekonomi dan faktor-faktor kritis lainnya yang mengarahkan pembangunan lebih berkualitas akan sangat berpengaruh pada prospek para emiten. Untuk hal ini, terutama peran pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia akan sangat krusial, tanpa menghilang peran penting lembaga lainnya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan akan sangat diperhatikan oleh para investor asing untuk mengukur tingkat keamanan investasi mereka dan juga potensi return yang akan diperolah.

Sehubungan kemungkinan kenaikan Fed rate, yang bisa dilakukan adalah terus memperbaiki struktur ekonomi dan peningkatan kualitas pembangunan. Kita bisa berkaca pada Filipina yang memperoleh pertumbuhan investasi asing yang tinggi karena daya tarik pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan perbaikan fundamental ekonominya. Tahun lalu pasar modal Filipina berkinerja terbaik ketiga secara global setelah Tiongkok dan India, dan juga nilai investasi asing langsung mengalami kenaikan sebesar 66%.

Patut disyukuri bahwa baru-baru ini Indonesia sudah dikeluarkan dari kelompok fragile five oleh Morgan Stanley. Fragile five adalah lima negara ekonomi berkembang utama yang dianggap memiliki kerentanan yang tinggi dalam hal fluktuasi mata uangnya. Dikeluarkannya Indonesia karena dianggap telah melakukan reformasi yang cukup yang salah satunya adalah penghapusan subsidi bahan bakar premium dan target defisit anggaran hingga 1,9%.

Meski demikian, pekerjaan rumah kita masih banyak. Defisit transaksi berjalan Indonesia masih dikisaran 3%, kemampuan ekspor di luar komoditas masih lemah, berbagai infrastruktur vital masih banyak belum terbangun. Belum lagi apabila kita bicara tentang pemberdayaan aparatur negara dan pemberantasan korupsi yang masih terus terseok-seok. Namun tentunya, optimisme harus terus dijaga dan upaya perbaikan-pembenahan di berbagai segi terus dilanjutkan.
 

Monday, March 23, 2015

Menanggapi Paket Kebijakan Pemerintah untuk Menanggulangi Pelemahan Rupiah



 
Beberapa waktu yang lalu pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan sebagai upaya untuk meredam pelemahan Rupiah yang berkelanjutan. Menurut pandangan penulis, paket kebijakan tersebut cukup menyentuh permasalahan dasar perekonomian kita. Karena memang, bila bicara mengenai fluktuasi Rupiah, kita tidak bisa bicara hanya dari sisi moneter atau dari kebijakan dan intervensi Bank Indonesia saja.

Pelemahan Rupiah saat ini lebih banyak dipicu oleh fundamental ekonomi kita yang masih lemah, ditengah permintaan ekonomi global yang menurun serts di sisi lain, daya saing ekonomi AS terus menguat. Defisit neraca berjalan kita masih cukup besar. Meski telah mengalami surplus perdagangan, namun ekspor kita justru melemah, yang artinya tidak dapat memanfaatkan pelemahan Rupiah.

Berikut ini adalah beberapa catatan penulis terhadap paket kebijakan pemerintah yang telah diumumkan.

Kebijakan insentif pajak bagi perusahaan asing yang menahan dividen dan melakukan reinvestasi, selain akan membantu menahan keluarnya dollar tetapi juga mendorong realisasi investasi asing dan perluasan investasi di dalam negeri. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah insentif pajak yang diberikan cukup menarik bagi perusahaan asing tersebut. Bila tidak, bisa jadi kebijakan ini tidak akan efektif. Terlebih proses realisasi investasi di Indonesia masih banyak kendala yang perlu dibenahi, meski pemerintah sudah punya pelayanan terpadu satu pintu.

Sementara kebijakan insentif bagi industri galangan kapal dan produk pertanian, hal ini terkait dengan fokus pemerintah saat ini untuk mendorong kedua industri tersebut. Namun efektifitas kebijakan ini akan terasa apabila dibarengi dengan langkah pembenahan industri-industri tersebut, dan hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat.

Untuk kebijakan BMAD (bea masuk anti dumping) dan BMTPS (bea masuk tindakan pengamanan sementara) untuk produk impor yang terindikasi unfair trade akan membantu pengurangan impor dan juga industri dalam negeri yang memiliki produk serupa. Meski demikian, kebijakan ini dapat menjadi masalah bagi ketersediaan bahan baku dengan kualitas bagus dengan harga terjangkau bagi industri berbasis ekspor yang memerlukan. Karena bisa jadi industri dalam negeri belum mampu memproduksi produk olahan dengan kualitas yang sepadan.

Kebijakan pembebasan devisa bagi 30 negara tambahan atau menjadi 45 negara akan mendongkrak jumlah wisatawan yang ada, sehingga penghasilan devisa pun akan naik. Kebijakan ini dapat segera menjadi efektif untuk meningkatkan pundi devisa negara. Catatannya, kesiapan industri pariwisata kita juga perlu segera ditingkatkan.

Kebijakan untuk penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel hingga 15% akan membantu dalam mengurangi jumlah impor bahan bakar yang selama ini menjadi salah satu momok defisit neraca berjalan. Selain itu juga dapat membantu penjualan produk kelapa sawit domestik yang sedang menurun permintaannya di pasar global. Tetapi kebijakan ini masih membutuhkan waktu atas kesiapan Pertamina maupun industri kelapa sawit untuk dapat merealisasikannya, sedangkan hingga saat ini penyerapan biofuel pun belum maksimal dari yang telah dimandatkan dengan tingkat presentase yang lebih sedikit.

Kebijakan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam (SDA) menjadi penting. Selama ini bisa jadi Indonesia tidak pernah tahu secara pasti berapa jumlah produk SDA yang diekspor, dan kaitannya adalah berapa devisa yang masuk dari ekspor tersebut. Di pasar internasional terdapat indikasi kuat data resmi volume ekspor SDA yang dikeluarkan lembaga resmi berbeda dengan realisasinya, dikarenakan besarnya volume produk ekspor ilegal. Tetapi ini juga berhubungan dengan pembenahan industri yang dilakukan pemerintah. Upaya pemerintah untuk melakukan pendataan perusahaan pertambangan masih belum final.

Kebijakan pembentukan perusahaan reasuransi menjadi sangat penting untuk menahan keluarnya modal dari Indonesia. Selama ini, perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia membeli produk-produk reasuransi kepada perusahaan-perusahaan asing. Sedangkan nilai premi reasuransi bisa memakan sebagian besar porsi premi asuransi. Kebjiakan ini memiliki niat pembenahan industri yang baik, tetapi masih akan membutuhkan waktu untuk realisasinya.

Secara umum, paket kebijakan ekonomi pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun pembenahan industri cukup baik untuk mendorong fundamental ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Meski demikian, kebijakan ini secara membutuhkan waktu untuk dapat secara efektif berpengaruh kepada penguatan Rupiah.

Rupiah yang dirasa masih berada di atas level psikologis Rp13.000 per USD sepertinya masih akan terus berlanjut. Kebijakan jangka pendek yang efektif dan cepat masih belum terlihat dalam paket kebijakan saat ini, sehingga peran pengendalian Rupiah oleh BI melalui operasi moneternya masih akan lebih besar. Meski demikian, kita perlu menghargai langkah-langkah pemerintah saat ini dalam melakukan pembenahan industri dan ekonomi secara lebih mendasar, meski terdapat tantangan yang besar dalam realisasinya. Di sisi lain, pemerintahan saat ini tersandera oleh permainan politik para elit, sehingga menjadi pemerintahan yang akan sulit untuk efektif dalam menjalankan program-programnya.

Semoga para elit politik dan pejabat pemerintahan semakin menyadari bahwa perannya sebagai negarawan sangat dibutuhkan bangsa ini untuk mendorong peningkatan kualitas pembangunan ekonomi maupun kualitas pembangunan secara keseluruhan.

Tuesday, March 17, 2015

Menguatnya Ekonomi AS dan Melemahnya Rupiah



Perkembangan data ketenagakerjaan AS memang terus menunjukkan tren yang menguat. Pada bulan Februari lalu, terjadi penambahan jumlah pekerjaan berdasarkan data non-farm payroll sebesar 295.000 pekerjaan. 

Angka ini di atas ekspektasi para analis dan menggenapkan jumlah penambahan pekerjaan di atas 200.000 per bulan dalam dua belas bulan terakhir. Lebih jauh, tingkat pengangguran di AS pun turun menjadi 5,5% dari sebelumnya 5,7%, dan merupakan angka terendah sejak tahun bulan Mei 2008.

Namun, meskipun tingkat pengangguran menjadi begitu rendahnya belum berhasil meningkatkan kenaikan upah yang signifikan. Positifnya adalah dalam jangka waktu 12 bulan terakhir, lebih dari 3,3 juta warga AS telah memperoleh pekerjaan. 

Dengan menguatnya data tenaga kerja AS, memberikan dorongan ekspektasi bahwa Fed rate akan dinaikkan secepatnya pada bulan Juni 2014. Kondisi ini juga mendorong Dollar AS menguat kepada berbagai mata uang di dunia, dan juga meningkatkan yield surat utang AS. 

Mempertimbangkan perkembangan ekonomi AS, pelemahan Rupiah belakangan ini bisa dikatakan lebih didorong oleh kuatnya data ekonomi AS sehingga menjadikan Dolla AS mengalami penguatan terhadap berbagai mata uang negara lain. Ekspektasi Fed rate akan dinaikkan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya mendorong sentimen negatif ke pasar modal maupun pasar valuta asing.

Pelemahan Rupiah juga mendapat momentum setelah BI menurunkan BI rate pada 17 Februari 2015 lalu. Bisa dipahami bahea penurunan BI rate lebih memihak untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan juga mengakomodasi penurunan ekspektasi inflasi. Sementara itu, di pihak lain, defisit neraca berjalan masih cukup besar, meskipun dalam tiga bulan terakhir berturut-turut Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan. 

Tetapi, dengan masih belum dilonggarkannya kebijakan ekspor biji mineral, surplus perdagangan sepertinya lebih akan didorong oleh pelemahan permintaan impor. Ekspor barang manufaktur belum dapat diandalkan karena selama beberapa dekade terakhir Indonesia lebih mengandalkan ekspor komoditas, terlebih pada saat booming komoditas. Sedangkan saat ini hampir semua harga komoditas mengalami pelemahan yang tajam. 

Keputusan Rapat Dewan Gubernur BI pada pertengan Maret 2015 pun menetapkan BI rate tetap di 7,5%, di tengah harapan sebagian pihak agar BI membantu pelemahan Rupiah dengan menaikkan kembali BI rate, namun di sisi lain tekanan inflasi di dalam negeri pun juga mulai mereda. Meskipun posisi cadangan terus devisa mengalami penguatan, namun BI perlu berperan lebih dalam mengendalikan Rupiah, supaya dapat memperlambat konsumsi impor maupun menahan laju keluarnya dollar lebih banyak. 

Di sisi lain, peran pemerintah akan sangat vital dalam membantu penguatan Rupiah. Kebijakan pencabutan subsidi energi merupakan langkah yang baik dalam membantu meringankan kerentanan Indonesia terhadap fluktuasi ekonomi global. Di tengah momentum rendahnya harga minyak, pemerintah juga perlu memanfaatkan keuntungan yang diperoleh untuk lebih memperkuat struktur ekonomi. 

Dalam hal menyikapi pelemahan Rupiah yang telah menyentuh level terendahnya dalam 17 tahun terakhir terhadap Dollar AS, pemerintah telah mengeluarkan 6 paket kebijakan. Paket kebijakan ekonomi pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun pembenahan industri cukup baik untuk mendorong fundamental ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Meski demikian, kebijakan ini secara umum membutuhkan waktu untuk dapat secara efektif berpengaruh kepada penguatan Rupiah. 

Rupiah yang dirasa masih berada di atas level psikologis Rp13.000 per USD sepertinya masih akan terus berlanjut. Kebijakan jangka pendek yang efektif dan cepat masih belum terlihat dalam paket kebijakan saat ini, sehingga peran pengendalian Rupiah oleh BI melalui operasi moneternya masih akan lebih besar. 

Tentunya langkah-langkah pemerintah saat ini dalam melakukan pembenahan industri dan ekonomi secara lebih mendasar perlu mendapat apresiasi, meski terdapat tantangan yang besar dalam realisasinya. Di sisi lain, pemerintahan saat ini tersandera oleh permainan politik para elit, sehingga pemerintah akan sulit untuk efektif dalam mewujudkan program-programnya. 

Kita nantikan perkembangan selanjutnya. Semoga hal-hal positif yang lebih banyak terjadi di masa yang akan datang. 


Sunday, March 15, 2015

Permintaan CPO Global Masih Lemah




Data bulan Januari 2015 yang ditunjukkan oleh salah satu pemain terbesar di industri kelapa sawit, yaitu Astra Agro Lestari (AALI) cukup membuat terkejut banyak pihak. Volume penjualan CPO emiten itu turun hingga 33% yoy. Tidak mau kalah, volume penjualan kernel AALI jatuh 23% yoy. Penurunan volume penjualan bahkan juga diikuti oleh turunnya harga jual rerata hingga mencapai 10,7% untuk CPO dan 15,9% untuk kernel.

Bagaimana dengan volume produksinya? Apakah jatuhnya volume penjualan karena volume produksi yang berkurang? Bila ditelisik lebih dalam, volume produksi memang mengalami penyusutan sebesar 9% untuk tandan buah segar (TBS) dan 7% untuk produksi CPO. Melihat kondisi ini, bahwa produksi hanya turun di bawah satu digit, namun volume penjualan jatuh double digit, menjadi masuk akal bila kita kemudian menyimpulkan bahwa terjadi penyusutan penyerapan produk oleh pasar.

Apa yang terjadi pada AALI dapat dijadikan gambaran bagaimana saat ini terjadi pelemahan terhadap permintaan produk CPO Indonesia. Pada Januari 2015 ini ekspor produk CPO dan turunannya dari Indonesia susut 8% mom atau 15% yoy, meskipun pada tahun lalu ekspor sedikit naik sebesar 2,5%.

 Secara lebih khusus, ekspor ke Tiongkok dan India bahkan jatuh sekitar 40% mom di bulan Januari 2015. Penurunan juga sudah terefleksi di tahun 2014, dimana ekspor ke Tiongkok hanya 2,34 juta ton atau melemah 9% yoy, sedangkan ekspor ke India hanya mencapai 5,1 juta ton atau turun 17% yoy.

Menurunnya ekspor CPO dan produk turunannya ke India terutama disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan ekonomi, naiknya pajak impor minyak nabati, dan melemahnya mata uang India terhadap dollar AS. Sementara itu, faktor utama pelemahan ekspor ke Tiongkok didorong oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi negara ini dan tingginya stok minyak kedelai.

Di sisi lain, harapan pertumbuhan penjualan ekspor produk CPO dan turunannya datang dari Uni Eropa dan Timur Tengah. Meskipun Uni Eropa terus menyalurkan kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia, permintaan ke Uni Eropa tumbuh 3% yoy menjadi 4,13 juta ton di 2014. Pertumbuhan ekspor ke Timur Tengah memberikan angin segar dengan tumbuh 16% yoy menjadi 2,29 juga ton. Tingkat aplikasinya yang luas, efektifitas, dan harganya yang murah yang menjadi penyebab di kedua pasar minyak kelapa sawit mengalami peningkatan permintaan.

Sebagai tambahan bagi optimisme di industri kelapa sawit adalah peningkatan target penggunaan kelapa sawit dalam biofuel menjadi 15%. Hal ini merupakan bagian dari rencana paket kebijakan pemerintah untuk mengurangi defisit neraca berjalan dan membantu penguatan rupiah. Kebijakan ini selain akan menguntungkan produsen minyak sawit tetapi juga akan bisa mengurangi jumlah impor bahan bakar sehingga dapat menghemat devisa.

Mempertimbangkan masih lemahnya permintaan global, harga CPO diperkirakan akan bergerak di kisaran RM2.200-2.400 di tahun ini. Meski demikian, range harga tersebut sudah lebih baik dibandingkan harga di bulan Agustus tahun lalu yang sempat menyentuh di bawah RM2.000.

Monday, February 23, 2015

BI rate: Kejutan Menjelang Imlek




Pada tanggal 17 Februari 2015, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI rate dan Fasbi rate 25 bps, sehingga menjadi 7,5% dan 5,5% masing-masing. Sebuah keputusan yang di luar dugaan rata-rata analis.

Saya melihatnya keputusan ini banyak dipengaruhi oleh rendahnya harga minyak sehingga pemerintah dapat mengalokasikan ruang fiskal yang lebih besar, terjadinya deflasi di bulan Januari 2015, dan melebarnya surplus neraca perdagangan menjadi USD710 di Januari 2015 dari hanya USD185 juta di Desember 2014. Hal lain yang mungkin berpengaruh adalah rendahnya realisasi pertumbuhan penyaluran kredit perbankan yang hanya sekitar 11% di 2014.

Secara umum, penurunan BI rate direspon positif oleh pasar. Hal ini dapat dilihat dari IHSG yang terus mencetak rekor tertinggi terbaru secara rally, dan saat ini terus bettahan di lecel 5.400-an. kembali ditutup mencetak rekor tertinggi mencapai 5.390. Bahkan nilai transaksi perdagangan harian secara rata-rata mengalami peningkatan serta net buy asing yang juga pada tren yang sama.

Meski demikian, apresiasi IHSG juga dipengaruhi oleh keputusan Presiden Jokowi yang batal melantik Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri serta melakukan pergantian kepemimpinan KPK sehingga dapat meredam "perseteruan" antara KPK dan POLRI. Dalam beberapa minggu lalu, kondisi politik yang sangat tidak menentu begitu menyandera negara ini. Sehingga keputusan tersebut dapat membantu investor kembali fokus pada kondisi fundamental perekonomian.

Kedua hal ini memberikan angin segar akan perkembangan ekonomi nasional yang lebih stabil dan lingkungan yang lebih mendukung untuk pertumbuhan. Namun di sisi lain, dengan turunnya BI rate, Rupiah diperkirakan akan menguji ke level Rp13.000/USD. Meski BI tentunya akan menjaga volatilitas Rupiah untuk tidak mrnjadi liar, tetapi sepertinya akan cenderung melepas Rupiah mencapai titik kesetimbangannya yang baru.

Secara umum, penuruan BI rate akam berpengaruh pada emiten-emiten perbankan yang akan terkena imbas positif. Terutama bila dilihat dari dampaknya terhadap penyaluran kredit. Terlebih bank-bank juga menunjukkan kinerja pertumbuhan laba yang baik meski tahun lalu mengalami banyak tantangan.

Tahun ini sektor swasta mulai bergerak untuk ekspansi karena tahun lalu banyak yang menunda. Kebijakan pemerintah pun lebih berpihak bagi pertumbuhan ekonomi, terutama melalui program pembangunan infrastruktur. Oleh karenanya kebutuhan akan modal kerja dan modal investasi semakin meningkat. Permintaan kredit perbankan pun diperkirakan akan terus meningkat.

Membenahi Struktur Ekonomi: RAPBN-P 2015, Sebuah Langkah Awal



Pemerintah telah selesai menyusun RAPBN-P 2015 dan saat ini sedang diajukan untuk disetujui oleh DPR. Melihat postur RAPBN-P 2015 yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi-JK, kami melihat adanya angin segar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan membesarnya ruang fiskal, diharapkan tahun 2015 menjadi titik balik bagi pertumbuhan ekonomi yang terus melambat sejak tahun 2012.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini mengandalkan ekspor komoditas primer (± 65% dari total nilai ekspor) di sektor tambang dan perkebunan, seperti batubara, mineral, CPO, karet, kopi, dan kakao. Dengan melemahnya harga-harga komoditas secara berkepanjangan, maka ekspor komoditas tidak dapat lagi menjadi andalan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Melalui RAPBN-P 2015, pemerintah sepertinya berusaha untuk melakukan perubahan lansekap perekonomian Indonesia. Salah satu perubahan strategis adalah pengurangan alokasi subsidi BBM yang dipotong 71% dari nilai APBN 2015 sehingga hanya menjadi Rp81 triliun. Terbantu oleh penurunan harga minyak, tahun ini pemerintah mengambil langkah kebijakan untuk melakukan subsidi tetap bagi solar namun menghilangkan subsidi untuk premium sejak awal tahun 2015.

Dengan langkah tersebut serta berbagai upaya efisiensi alokasi anggaran, ruang fiskal yang dimiliki pemerintah mencapai Rp230 triliun yang kemudian dialokasikan berbagai sektor yang lebih produktif. Dari nilai tersebut, sejumlah Rp155triliun kemudian dialokasikan kepada anggaran prioritas sebagain tambahan belanja Kementrian/Lembaga (K/L), sehingga belanja pemerintah pusat meningkat Rp132 triliun menjadi Rp779,5 triliun. Belanja infrastruktur pun melonjak menjadi Rp290 trilin dari sebelumnya hanya dianggarkan Rp196 triliun.

Kami menghargai upaya pemerintah melakukan penambahan modal negara pada sejumlah BUMN, yang memang diharapkan akan menjadi motor peningkatan investasi dalam negeri. Langkah ini kami pandang positif karena (a) efektifitas penggunaan anggaran akan lebih baik atau cepat terserap pada tingkat korporasi milik negara, dan (b) tambahan modal pada sejumlah BUMN tersebut dapat di-leverage untuk mendukung pembiayaan belanja modal mereka masing-masing. 

Tabel Perbandingan Postur APBN
Rp triliun
APBN-P 2014
APBN 2015
RAPBN-P 2015
Penerimaan pajak
1.072,4
1.201,7
1.300
Rasio pajak (%)
12,3
12,4
13,5
Subsidi BBM
246,5
276
81
Subsidi listrik
103,8
68,7
76
Dana alokasi khusus
33
35,8
55,8
Dana alokasi desa
-
9,1
20,1
Belanja infrastruktur
210
196
290
Defisit anggaran (%PDB)
2,4
2,2
1,9
Sumber: diolah dari berbagai sumber, PEFINDO Riset Konsultasi

Anggaran prioritas dalam RAPBN-P 2015 terbagi dalam tiga hal utama, yaitu anggaran untuk pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kewajiban dasar, dan pembangunan infrastruktur konektivitas. Pembangunan untuk infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi terdiri dari pangan, maritim, pariwisata, dan industri. Kemudian, untuk pemenuhan kebutuhan dasar khususnya untuk pendidikan, kesehatan, dan perumahan, pengurangan kesenjangan antarkelas pendapatan maupun antar wilayah.

Salah satu harapan dari struktur RAPBN-P 2015 adalah adanya fokus untuk menjaga keseimbangan pembagunan, baik keseimbangan wilayah maupun sosial, terutama dengan dinaikkannya anggaran untuk dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana desa. Di sisi lain, percepatan pembangunan infrastruktur juga didorong dari penyuntikan modal negara ke berbagai BUMN sebesar Rp75 triliun, terbesar sepanjang sejarah yang pernah diajukan. Setoran dividen BUMN pun akan dikurangi dengan tujuan untuk semakin memperkuat struktur modal dan meningkatkan produktivitas BUMN.

Pemerintah juga mentargetkan untuk meningkatkan peran investasi dan mengejar peningkatan pencapaian tax ratio. Ditunjang dengan penerapan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), pemerintah mentargetkan pencapaian realiasi investasi di tahun ini mencapai Rp500 triliun atau tumbuh 15% dari tahun lalu. Investasi terutama diarahkan kepada industri substitusi impor seperti industri baja, energi terbarukan, elektronik, dan komponen otomotif, serta kepada industri padat karya untuk mendorong penyerapan tenaga kerja. Sementara itu tax ratio ditargetkan mencapai 13,5%, naik dari rata-rata lima tahun belakang yang hanya 11%-12%. 

Dengan berbagai terobosan dalam penyusunan RAPBN-P 2015, kami menaruh optimisme terjadinya perubahan arah pembangunan ekonomi yang signifikan. Dibangunnya berbagai infrastruktur vital yang dibutuhkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Demikian pula berbagai pemerataan pembangunan yang sangat genting dibutuhkan, terlebih saat ini gini ratio Indonesia telah mencapai lebih dari 0,4, suatu nilai yang sudah cukup kritis.

Melihat struktur RAPBN-P 2015 saat ini, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan lebih mengandalkan konsumsi dan investasi ketimbang ekspor. Untuk konsumsi, terutama konsumsi pemerintah akan sangat vital perannya di tahun ini, terlebih belanja telah dinaikkan cukup signifikan. Namun demikian, rendahnya serapan anggaran oleh pemerintah dan juga rendahnya realisasi penerimaan pajak akan menjadi tantangan tersendiri. Realisasi investasi pun juga membutuhkan kinerja aparatur negara dan koordinasi antar lembaga yang baik. Oleh karenanya pemerintah dituntut untuk dapat bekerja semakin efektif dan efisien untuk mencapai berbagai target yang telah ditentukan.