Thursday, March 26, 2015
Antisipasi Kenaikan Fed Rate
Belakangan ini, terjadi peningkatan volatilitas di pasar modal Indonesia terutama dipicu oleh semakin dekatnya kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Hal tersebut memberikan kekhawatiran akan keluarnya investasi asing dari pasar modal Indonesia, sehingga akan menurunkan nilai dan kapitalisasi saham. Bagaimana sebenarnya kondisi pasar modal kita dan bagaimana kita menyikapi kemungkinan kenaikan Fed rate?
Pasar modal Indonesia masih masuk dalam kategori emerging market. Hal ini terutama ekonomi Indonesia masih masuk dalam kategori berpendatan rendah dan kapitalisasi pasar modal Indonesia terhadap PDB juga masih rendah (sekitar 50%). Hal ini menunjukkan realitas mengenai tingkat pengetahuan keuangan atau financial literacy dan pemanfaatan produk keuangan di negara ini yang masih rendah. Bahkan jumlah investor di pasar modal pun masih sangat rendah, masih jauh di basah rasio 1% penduduk.
Dengan kondisi tersebut di atas, nilai investasi investor domestik ke pasar menjadi kurang kompetitif terhadap porsi investasi asing. Diperkirakan kepemilikan aset investor asing di pasar modal domestik mencapai sekitar 60%, meskipun dalam kegiatan transaksi perdagangan, investor domestik masih lebih menguasai. Besarnya porsi kepemilikan aset oleh asing membuat pasar modal kita menjadi lebih sensitif terhadap perkembangan pasar keuangan global. Terlebih apabila dana yang masuk bersifat hot money, atau uang yang sifatnya bukan untuk investasi jangka panjang.
Untuk meningkatkan kepercayaan investor asing di pasar modal maupun meningkatkan daya tahan pasar modal kita salah satu caranya adalah meningkatkan kualitas transparansi dan governance pasar modal maupun para emiten yang ada. Selain itu pemberian insentif terutama terkait biaya transaksi dan biaya lainnya sehingga dapat menarik investor. Dalam hal ini, peran BEI selaku pengelola pasar modal yang menjadi harapan.
Di sisi lain, perkembangan ekonomi makro Indonesia juga berpengaruh untuk menarik investor berinvestasi di pasar modal. Oleh karenanya pembenahan struktur ekonomi dan faktor-faktor kritis lainnya yang mengarahkan pembangunan lebih berkualitas akan sangat berpengaruh pada prospek para emiten. Untuk hal ini, terutama peran pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia akan sangat krusial, tanpa menghilang peran penting lembaga lainnya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan akan sangat diperhatikan oleh para investor asing untuk mengukur tingkat keamanan investasi mereka dan juga potensi return yang akan diperolah.
Sehubungan kemungkinan kenaikan Fed rate, yang bisa dilakukan adalah terus memperbaiki struktur ekonomi dan peningkatan kualitas pembangunan. Kita bisa berkaca pada Filipina yang memperoleh pertumbuhan investasi asing yang tinggi karena daya tarik pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan perbaikan fundamental ekonominya. Tahun lalu pasar modal Filipina berkinerja terbaik ketiga secara global setelah Tiongkok dan India, dan juga nilai investasi asing langsung mengalami kenaikan sebesar 66%.
Patut disyukuri bahwa baru-baru ini Indonesia sudah dikeluarkan dari kelompok fragile five oleh Morgan Stanley. Fragile five adalah lima negara ekonomi berkembang utama yang dianggap memiliki kerentanan yang tinggi dalam hal fluktuasi mata uangnya. Dikeluarkannya Indonesia karena dianggap telah melakukan reformasi yang cukup yang salah satunya adalah penghapusan subsidi bahan bakar premium dan target defisit anggaran hingga 1,9%.
Meski demikian, pekerjaan rumah kita masih banyak. Defisit transaksi berjalan Indonesia masih dikisaran 3%, kemampuan ekspor di luar komoditas masih lemah, berbagai infrastruktur vital masih banyak belum terbangun. Belum lagi apabila kita bicara tentang pemberdayaan aparatur negara dan pemberantasan korupsi yang masih terus terseok-seok. Namun tentunya, optimisme harus terus dijaga dan upaya perbaikan-pembenahan di berbagai segi terus dilanjutkan.
Monday, March 23, 2015
Menanggapi Paket Kebijakan Pemerintah untuk Menanggulangi Pelemahan Rupiah
Beberapa waktu yang lalu pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan sebagai upaya untuk meredam pelemahan Rupiah yang berkelanjutan. Menurut pandangan penulis, paket kebijakan tersebut cukup menyentuh permasalahan dasar perekonomian kita. Karena memang, bila bicara mengenai fluktuasi Rupiah, kita tidak bisa bicara hanya dari sisi moneter atau dari kebijakan dan intervensi Bank Indonesia saja.
Pelemahan Rupiah saat ini lebih banyak dipicu oleh fundamental ekonomi kita yang masih lemah, ditengah permintaan ekonomi global yang menurun serts di sisi lain, daya saing ekonomi AS terus menguat. Defisit neraca berjalan kita masih cukup besar. Meski telah mengalami surplus perdagangan, namun ekspor kita justru melemah, yang artinya tidak dapat memanfaatkan pelemahan Rupiah.
Berikut ini adalah beberapa catatan penulis terhadap paket kebijakan pemerintah yang telah diumumkan.
Kebijakan insentif pajak bagi perusahaan asing yang menahan dividen dan melakukan reinvestasi, selain akan membantu menahan keluarnya dollar tetapi juga mendorong realisasi investasi asing dan perluasan investasi di dalam negeri. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah insentif pajak yang diberikan cukup menarik bagi perusahaan asing tersebut. Bila tidak, bisa jadi kebijakan ini tidak akan efektif. Terlebih proses realisasi investasi di Indonesia masih banyak kendala yang perlu dibenahi, meski pemerintah sudah punya pelayanan terpadu satu pintu.
Sementara kebijakan insentif bagi industri galangan kapal dan produk pertanian, hal ini terkait dengan fokus pemerintah saat ini untuk mendorong kedua industri tersebut. Namun efektifitas kebijakan ini akan terasa apabila dibarengi dengan langkah pembenahan industri-industri tersebut, dan hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat.
Untuk kebijakan BMAD (bea masuk anti dumping) dan BMTPS (bea masuk tindakan pengamanan sementara) untuk produk impor yang terindikasi unfair trade akan membantu pengurangan impor dan juga industri dalam negeri yang memiliki produk serupa. Meski demikian, kebijakan ini dapat menjadi masalah bagi ketersediaan bahan baku dengan kualitas bagus dengan harga terjangkau bagi industri berbasis ekspor yang memerlukan. Karena bisa jadi industri dalam negeri belum mampu memproduksi produk olahan dengan kualitas yang sepadan.
Kebijakan pembebasan devisa bagi 30 negara tambahan atau menjadi 45 negara akan mendongkrak jumlah wisatawan yang ada, sehingga penghasilan devisa pun akan naik. Kebijakan ini dapat segera menjadi efektif untuk meningkatkan pundi devisa negara. Catatannya, kesiapan industri pariwisata kita juga perlu segera ditingkatkan.
Kebijakan untuk penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel hingga 15% akan membantu dalam mengurangi jumlah impor bahan bakar yang selama ini menjadi salah satu momok defisit neraca berjalan. Selain itu juga dapat membantu penjualan produk kelapa sawit domestik yang sedang menurun permintaannya di pasar global. Tetapi kebijakan ini masih membutuhkan waktu atas kesiapan Pertamina maupun industri kelapa sawit untuk dapat merealisasikannya, sedangkan hingga saat ini penyerapan biofuel pun belum maksimal dari yang telah dimandatkan dengan tingkat presentase yang lebih sedikit.
Kebijakan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam (SDA) menjadi penting. Selama ini bisa jadi Indonesia tidak pernah tahu secara pasti berapa jumlah produk SDA yang diekspor, dan kaitannya adalah berapa devisa yang masuk dari ekspor tersebut. Di pasar internasional terdapat indikasi kuat data resmi volume ekspor SDA yang dikeluarkan lembaga resmi berbeda dengan realisasinya, dikarenakan besarnya volume produk ekspor ilegal. Tetapi ini juga berhubungan dengan pembenahan industri yang dilakukan pemerintah. Upaya pemerintah untuk melakukan pendataan perusahaan pertambangan masih belum final.
Kebijakan pembentukan perusahaan reasuransi menjadi sangat penting untuk menahan keluarnya modal dari Indonesia. Selama ini, perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia membeli produk-produk reasuransi kepada perusahaan-perusahaan asing. Sedangkan nilai premi reasuransi bisa memakan sebagian besar porsi premi asuransi. Kebjiakan ini memiliki niat pembenahan industri yang baik, tetapi masih akan membutuhkan waktu untuk realisasinya.
Secara umum, paket kebijakan ekonomi pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun pembenahan industri cukup baik untuk mendorong fundamental ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Meski demikian, kebijakan ini secara membutuhkan waktu untuk dapat secara efektif berpengaruh kepada penguatan Rupiah.
Rupiah yang dirasa masih berada di atas level psikologis Rp13.000 per USD sepertinya masih akan terus berlanjut. Kebijakan jangka pendek yang efektif dan cepat masih belum terlihat dalam paket kebijakan saat ini, sehingga peran pengendalian Rupiah oleh BI melalui operasi moneternya masih akan lebih besar. Meski demikian, kita perlu menghargai langkah-langkah pemerintah saat ini dalam melakukan pembenahan industri dan ekonomi secara lebih mendasar, meski terdapat tantangan yang besar dalam realisasinya. Di sisi lain, pemerintahan saat ini tersandera oleh permainan politik para elit, sehingga menjadi pemerintahan yang akan sulit untuk efektif dalam menjalankan program-programnya.
Semoga para elit politik dan pejabat pemerintahan semakin menyadari bahwa perannya sebagai negarawan sangat dibutuhkan bangsa ini untuk mendorong peningkatan kualitas pembangunan ekonomi maupun kualitas pembangunan secara keseluruhan.
Tuesday, March 17, 2015
Menguatnya Ekonomi AS dan Melemahnya Rupiah
Perkembangan data ketenagakerjaan AS memang terus menunjukkan tren yang menguat. Pada bulan Februari lalu, terjadi penambahan jumlah pekerjaan berdasarkan data non-farm payroll sebesar 295.000 pekerjaan.
Angka ini di atas ekspektasi para analis dan menggenapkan jumlah penambahan pekerjaan di atas 200.000 per bulan dalam dua belas bulan terakhir. Lebih jauh, tingkat pengangguran di AS pun turun menjadi 5,5% dari sebelumnya 5,7%, dan merupakan angka terendah sejak tahun bulan Mei 2008.
Namun, meskipun tingkat pengangguran menjadi begitu rendahnya belum berhasil meningkatkan kenaikan upah yang signifikan. Positifnya adalah dalam jangka waktu 12 bulan terakhir, lebih dari 3,3 juta warga AS telah memperoleh pekerjaan.
Dengan menguatnya data tenaga kerja AS, memberikan dorongan ekspektasi bahwa Fed rate akan dinaikkan secepatnya pada bulan Juni 2014. Kondisi ini juga mendorong Dollar AS menguat kepada berbagai mata uang di dunia, dan juga meningkatkan yield surat utang AS.
Mempertimbangkan perkembangan ekonomi AS, pelemahan Rupiah belakangan ini bisa dikatakan lebih didorong oleh kuatnya data ekonomi AS sehingga menjadikan Dolla AS mengalami penguatan terhadap berbagai mata uang negara lain. Ekspektasi Fed rate akan dinaikkan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya mendorong sentimen negatif ke pasar modal maupun pasar valuta asing.
Pelemahan Rupiah juga mendapat momentum setelah BI menurunkan BI rate pada 17 Februari 2015 lalu. Bisa dipahami bahea penurunan BI rate lebih memihak untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan juga mengakomodasi penurunan ekspektasi inflasi. Sementara itu, di pihak lain, defisit neraca berjalan masih cukup besar, meskipun dalam tiga bulan terakhir berturut-turut Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan.
Tetapi, dengan masih belum dilonggarkannya kebijakan ekspor biji mineral, surplus perdagangan sepertinya lebih akan didorong oleh pelemahan permintaan impor. Ekspor barang manufaktur belum dapat diandalkan karena selama beberapa dekade terakhir Indonesia lebih mengandalkan ekspor komoditas, terlebih pada saat booming komoditas. Sedangkan saat ini hampir semua harga komoditas mengalami pelemahan yang tajam.
Keputusan Rapat Dewan Gubernur BI pada pertengan Maret 2015 pun menetapkan BI rate tetap di 7,5%, di tengah harapan sebagian pihak agar BI membantu pelemahan Rupiah dengan menaikkan kembali BI rate, namun di sisi lain tekanan inflasi di dalam negeri pun juga mulai mereda. Meskipun posisi cadangan terus devisa mengalami penguatan, namun BI perlu berperan lebih dalam mengendalikan Rupiah, supaya dapat memperlambat konsumsi impor maupun menahan laju keluarnya dollar lebih banyak.
Di sisi lain, peran pemerintah akan sangat vital dalam membantu penguatan Rupiah. Kebijakan pencabutan subsidi energi merupakan langkah yang baik dalam membantu meringankan kerentanan Indonesia terhadap fluktuasi ekonomi global. Di tengah momentum rendahnya harga minyak, pemerintah juga perlu memanfaatkan keuntungan yang diperoleh untuk lebih memperkuat struktur ekonomi.
Dalam hal menyikapi pelemahan Rupiah yang telah menyentuh level terendahnya dalam 17 tahun terakhir terhadap Dollar AS, pemerintah telah mengeluarkan 6 paket kebijakan. Paket kebijakan ekonomi pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun pembenahan industri cukup baik untuk mendorong fundamental ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Meski demikian, kebijakan ini secara umum membutuhkan waktu untuk dapat secara efektif berpengaruh kepada penguatan Rupiah.
Rupiah yang dirasa masih berada di atas level psikologis Rp13.000 per USD sepertinya masih akan terus berlanjut. Kebijakan jangka pendek yang efektif dan cepat masih belum terlihat dalam paket kebijakan saat ini, sehingga peran pengendalian Rupiah oleh BI melalui operasi moneternya masih akan lebih besar.
Tentunya langkah-langkah pemerintah saat ini dalam melakukan pembenahan industri dan ekonomi secara lebih mendasar perlu mendapat apresiasi, meski terdapat tantangan yang besar dalam realisasinya. Di sisi lain, pemerintahan saat ini tersandera oleh permainan politik para elit, sehingga pemerintah akan sulit untuk efektif dalam mewujudkan program-programnya.
Kita nantikan perkembangan selanjutnya. Semoga hal-hal positif yang lebih banyak terjadi di masa yang akan datang.
Sunday, March 15, 2015
Permintaan CPO Global Masih Lemah
Data bulan Januari 2015 yang ditunjukkan oleh salah satu pemain terbesar di industri kelapa sawit, yaitu Astra Agro Lestari (AALI) cukup membuat terkejut banyak pihak. Volume penjualan CPO emiten itu turun hingga 33% yoy. Tidak mau kalah, volume penjualan kernel AALI jatuh 23% yoy. Penurunan volume penjualan bahkan juga diikuti oleh turunnya harga jual rerata hingga mencapai 10,7% untuk CPO dan 15,9% untuk kernel.
Bagaimana dengan volume produksinya? Apakah jatuhnya volume penjualan karena volume produksi yang berkurang? Bila ditelisik lebih dalam, volume produksi memang mengalami penyusutan sebesar 9% untuk tandan buah segar (TBS) dan 7% untuk produksi CPO. Melihat kondisi ini, bahwa produksi hanya turun di bawah satu digit, namun volume penjualan jatuh double digit, menjadi masuk akal bila kita kemudian menyimpulkan bahwa terjadi penyusutan penyerapan produk oleh pasar.
Apa yang terjadi pada AALI dapat dijadikan gambaran bagaimana saat ini terjadi pelemahan terhadap permintaan produk CPO Indonesia. Pada Januari 2015 ini ekspor produk CPO dan turunannya dari Indonesia susut 8% mom atau 15% yoy, meskipun pada tahun lalu ekspor sedikit naik sebesar 2,5%.
Secara lebih khusus, ekspor ke Tiongkok dan India bahkan jatuh sekitar 40% mom di bulan Januari 2015. Penurunan juga sudah terefleksi di tahun 2014, dimana ekspor ke Tiongkok hanya 2,34 juta ton atau melemah 9% yoy, sedangkan ekspor ke India hanya mencapai 5,1 juta ton atau turun 17% yoy.
Menurunnya ekspor CPO dan produk turunannya ke India terutama disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan ekonomi, naiknya pajak impor minyak nabati, dan melemahnya mata uang India terhadap dollar AS. Sementara itu, faktor utama pelemahan ekspor ke Tiongkok didorong oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi negara ini dan tingginya stok minyak kedelai.
Di sisi lain, harapan pertumbuhan penjualan ekspor produk CPO dan turunannya datang dari Uni Eropa dan Timur Tengah. Meskipun Uni Eropa terus menyalurkan kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia, permintaan ke Uni Eropa tumbuh 3% yoy menjadi 4,13 juta ton di 2014. Pertumbuhan ekspor ke Timur Tengah memberikan angin segar dengan tumbuh 16% yoy menjadi 2,29 juga ton. Tingkat aplikasinya yang luas, efektifitas, dan harganya yang murah yang menjadi penyebab di kedua pasar minyak kelapa sawit mengalami peningkatan permintaan.
Sebagai tambahan bagi optimisme di industri kelapa sawit adalah peningkatan target penggunaan kelapa sawit dalam biofuel menjadi 15%. Hal ini merupakan bagian dari rencana paket kebijakan pemerintah untuk mengurangi defisit neraca berjalan dan membantu penguatan rupiah. Kebijakan ini selain akan menguntungkan produsen minyak sawit tetapi juga akan bisa mengurangi jumlah impor bahan bakar sehingga dapat menghemat devisa.
Mempertimbangkan masih lemahnya permintaan global, harga CPO diperkirakan akan bergerak di kisaran RM2.200-2.400 di tahun ini. Meski demikian, range harga tersebut sudah lebih baik dibandingkan harga di bulan Agustus tahun lalu yang sempat menyentuh di bawah RM2.000.
Subscribe to:
Posts (Atom)