Sunday, May 30, 2010

PT Indosat Tbk: Di Tengah Ketatnya Persaingan Industri

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 05 Apr 2010



Infrastruktur telekomunikasi memainkan peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Jumlah penduduk yang besar dengan struktur geografis yang terdiri dari ribuan pulau memberikan peluang yang besar namun juga tantangan dalam memberikan pelayanan terhadap kebutuhan telekomunikasi.

Sektor telekomunikasi memiliki tiga jasa utama, yaitu telepon tetap (PSTN), telepon dengan mobilitas terbatas (FWA), dan telepon selular. Jumlah sambungan telepon tetap cenderung tidak mengalami pertumbuhan, sedangkan telepon dengan mobilitas terbatas dan telepon selular memiliki pertumbuhan yang tinggi, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) jumlah pengguna sejak 2004 diperkirakan mencapai 65% dan 40%.

Peraturan pemerintah tentang izin pembangunan menara, kewajiban penggunaan bersama menara dengan operator lainnya, serta kontrak dan kepemilikan menara yang 100% harus lokal memberikan tantangan sendiri. Terutama pengaruhnya terhadap kualitas layanan, tingkat daya saing, dan biaya tambahan atas penyesesuaian pembangunan dan penggunaan menara terhadap peraturan tersebut.

Saat ini persaingan dalam industri telekomunikasi menjadi sangat ketat, terutama untuk jasa telepon selular. Sekitar 85% pasar selular adalah pengguna GSM, sedangkan sisanya pengguna CDMA. Pasar GSM masih dikuasai oleh tiga besar perusahaan, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL. Sedangkan pasar CDMA dikuasai oleh Telkomsel, Bakrie Telecom, dan Mobile-8. Setidaknya ada empat hal yang menjadi penyebab dalam ketatnya persaingan industri telekomunikasi, yaitu: 1) tren semakin rendahnya biaya jasa yang diberikan, 2) hadirnya perusahaan-perusahaan baru, 3) semakin tingginya tuntutan inovasi produk dan jasa, dan 4) cepat usangnya teknologi yang digunakan.

Kinerja Bisnis dan Keuangan

PT Indosat Tbk merupakan satu dari sekian banyak perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Sebagai salah satu pionir perusahaan telekomunikasi dengan perjalanan panjang yang telah dilalui, perusahaan telah berevolusi menjadi perusahaan telekomunikasi dengan jasa yang terlengkap di Indonesia. Produk dan layanan yang diberikan perusahaan mencakup jasa selular dan broadband 3.5G, jasa telepon tetap, dan jasa MIDI (multimedia, komunikasi data dan internet).


Tabel Pendapatan Bisnis Perusahaan


Penjualan perusahaan memiliki tren meningkat sejak tahun 2002, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 18,42%. Kontribusi pendapatan perusahaan terutama disumbang oleh jasa selular (76%), kemudian diikuti oleh MIDI (14%), dan sisanya disumbang oleh jasa telepon tetap (10%).

Marjin laba bersih (NPM) perusahaan mengalami penurunan sejak tahun 2004. Pada tahun 2003 NPM perusahaan mencapai 19,06%, namun pada tahun 2009 hanya mencapai 8,15%. Di lain pihak nilai hutang perusahaan semakin meningkat. Pada tahun 2002 debt-to-assets ratio (DAR) perusahaan berada di nilai 51,81%, kemudian pada tahun 2008 telah mencapai 66,32%. Sementara itu, antara tahun 2010 hingga 2013, rerata hutang perusahaan yang jatuh tempo adalah sebesar Rp 462,75 miliar.




Perusahaan mengeluarkan belanja modal atau capital expenditure (CAPEX) sebesar Rp 9,276 triliun (2007), Rp 12,342 (2008) dan Rp 11,585 (2009). Rasio belanja modal terhadap penjualan cukup tinggi, dengan rasio sebesar 59% (2007), 66% (2008), dan 63% (2009). Tingkat belanja modal perusahaan yang cukup tinggi dan penurunan laba bersih perusahaan, memberikan pengaruh pada menurunnya arus kas dari operasi tahun 2009 hingga sebesar 38% dibandingkan tahun 2008. Sementara pada tahun 2008, arus kas dari operasi juga telah menurun sebesar 21% dari tahun 2007.

Pada tanggal 31 Desember 2008, Qatar Telecom (Qtel) resmi memiliki kendali terhadap 40,81% saham perusahaan dan menjadi pemegang saham mayoritas. Pada tahun 2009 perusahaan melakukan restrukturisasi organisasi, manajemen, dan bisnis yang diharapkan dapat merefleksikan kebutuhan pelanggan dan sejalan dengan best practice internasional. Program restrukturisasi bisnis perusahaan yang dilakukan salah satunya adalah pengurangan pelanggan jasa selular yang bernilai rendah (low value) bagi perusahaan serta perluasan dan peningkatan jaringan. Hal ini memberikan dampak pada penurunan pendapatan dan tingkat keuntungan perusahaan pada tahun 2009.

Kinerja Saham

Kinerja saham perusahaan dilihat dari rerata return terhadap volatilitas harga saham secara umum di bawah kinerja IHSG. Sejak tahun 2005 rerata return disetahunkan perusahaan tidak terlalu menggembirakan, walaupun tingkat volatilitas harga saham cenderung tidak terlalu tinggi. Sementara sejak tahun 2007 cenderung terjadi penurunan risiko pasar perusahaan, yang berada di sekitar 0,80 – 1,05.

Pasar melihat bahwa future growth opportunity perusahaan masih lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya, namun untuk current performance perusahaan tidak diekspektasi dengan tinggi oleh pasar. Hal ini sejalan dengan kinerja keuangan perusahaan yang masih belum menunjukkan nilai yang cukup baik, dan masih besarnya nilai investasi yang perlu dilakukan perusahaan untuk melakukan pengembangan usaha.

Dapat dikatakan bahwa kondisi fundamental perusahaan cenderung sejalan dengan ekspektasi pasar terhadap perusahaan. Tantangan tren penurunan harga jasa, semakin kompetitifnya persaingan dalam industri telekomunikasi, serta kebutuhan investasi yang besar perlu dijawab oleh perusahaan sehingga ekspektasi pasar terhadap perusahaan dapat meningkat. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





Wednesday, May 26, 2010

PT PP London Sumatra Tbk: Komitmen pada Sustainability

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 15 Mar 2010




Subsektor perkebunan Indonesia secara rerata memberikan kontribusi bagi PDB sebesar 2%, dengan perkiraan nilai pada tahun 2009 mencapai 112,5 triliun. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, tanaman perkebunan Indonesia didominasi oleh 12 komoditas utama, tiga besar diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, dan karet. Ketiga komoditas tersebut memiliki areal tanam masing-masing sebesar 7,32 juta hektar; 3,80 juta hektar; dan 3,52 juta hektar. Lima komoditas yang mengalami pertumbuhan areal tanam dan jumlah produksi yang paling tinggi selama tahun 2005-2009 adalah kelapa sawit, karet, kakao, tebu, dan kapas. Sementara itu, sepanjang tahun 2005-2009, komoditas yang mengalami pertumbuhan produktivitas tertinggi adalah kelapa sawit, karet, dan kapas.

Untuk pasar ekspor, yang menjadi komoditas unggulan Indonesia diantaranya adalah kelapa sawit, kakao, kopi, karet, dan lada. Sedangkan komoditas untuk kebutuhan dalam negeri diantaranya adalah tebu, teh, kapas, dan cengkeh. Namun masih disayangkan ekspor perkebunan Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk komoditas primer, bukan produk yang bernilai tambah tinggi. Krisis global tahun 2008 memberikan pembelajaran tersendiri bagi para pelaku industri perkebunan. Terjadinya penurunan drastis harga-harga komoditas pada waktu itu membuat industri ini menjadi muram, terlebih apabila pendapatan terutama diperoleh dari penjualan komoditas primer.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan bisnisnya, yaitu: peningkatan produktivitas lahan, peningkatan kualitas produksi, mengembangkan produk turunan yang bernilai tambah tinggi, pengembangan bisnis ke arah hilir, dan progam kepedulian lingkungan. Untuk melakukan hal tersebut perusahaan perkebunan membutuhkan komitmen dan dukungan penggunaan teknologi yang mendukung operasional, research & development, dan permodalan yang memadai.

Bisnis Perusahaan

Produk-produk yang dijual oleh PT PP London Sumatra Tbk adalah minyak kelapa sawit (CPO), bibit kelapa sawit, tandan buah segar, benih, produk-produk karet, kakao, dan teh. Produk sawit mendominasi penjualan perusahaan hingga mencapai kisaran 80% dari nilai penjualan.

Perkebunan kelapa sawit perusahaan 90% berada di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, sedangkan sisanya berada di Kalimantan Timur. Perusahaan memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma sebagai penunjang produksinya, masing-masing berjumlah 38 dan 14, dan tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara itu, 21 pabrik pengolahan produk perkebunan perusahaan juga tersebar di berbagai pulau untuk mengolah produk primer menjadi produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi.

Pada bulan April 2009, seluruh perkebunan dan pabrik pengolahan CPO milik perusahaan di Sumatera Utara memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainability Palm Oil. Hal ini memberikan gambaran bahwa perusahaan memberikan komitmen nyata dalam menghasilkan produk yang berkelanjutan dan bersahabat dengan lingkungan.

Perusahaan memberikan perhatian yang tinggi bagi research & development. Ini diwujudkan dengan didirikanya Bah Lias Research Station yang terletak di Sumatera Utara dengan fokus penelitian pada pembibitan, agronomi, dan perlindungan tanaman. Selain itu perusahaan juga membangun kerjasama dengan lembaga penelitian pemerintah Ghana untuk mengembangkan dan mengekplorasi budidaya bibit dan pemuliaan kelapa sawit di Afrika.

Kinerja Perusahaan

Seiring dengan pertumbuhan subsektor perkebunan, penjualan perusahaan terus meningkat setiap tahunnya, ditunjukkan dengan pertumbuhan rerata tahunan tahun 2002-2008 sebesar 23,23%. Pada tahun 2008 perusahaan banyak diuntungkan oleh kenaikan harga-harga komoditas terutama penjualan ekspor. Sementara itu penjualan tahun 2009 menurun sebesar 16,81% dibandingkan tahun sebelumnya, dari 3,85 triliun menjadi 3,20 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh terpangkasnya nilai penjualan ekspor hingga mencapai 54,87%.




Pada tahun 2004 perusahaan mengalami ROIC (return on invested capital) negatif, demikian pula laba bersih perusahaan pada tahun tersebut. Kerugian perusahaan pada tahun 2004 disebabkan oleh penyelesaian restrukturisasi hutang. Total hutang perusahaan sebelum restrukturisasi sebesar US$ 228 juta, yang terdiri dari: promissory notes sebesar US$ 20 juta, pinjaman sindikasi bank sebesar US$ 122 juta, dan kontrak berjangka sebesar US$ 86 juta lebih. Sebagian hutang kemudian dikonversi menjadi saham perusahaan.

Setelah tahun 2004 kinerja keuangan perusahaan terus meningkat, ditunjukkan dengan peningkatan ROIC sepanjang tahun 2005 hingga 2008, dari 10,49% hingga mencapai 20,65% pada tahun 2008. Kinerja positif perusahaan juga diiringi dengan komitmen untuk menurunkan tingkat hutangnya, ditandai dengan terus menurunnya debt-to-assets ratio (DAR) menjadi sekitar 35% pada tahun 2008. Untuk diketahui pada tahun 2002 DAR perusahaan mencapai lebih dari 100%.

Seperti pada perusahaan perkebunan yang lain, pada tahun 2008 harga saham perusahaan mengalami penurunan yang sangat tajam, walau kinerja keuangannya justru menunjukkan hal sebaliknya. Sebelum terjadinya krisis, saham perusahaan memberikan average annualized return yang cukup baik, dengan volatilitas harga saham yang cukup stabil. Risiko pasar perusahaan juga cenderung stabil, dengan kinerja keuangan dan potensi perusahaan yang dipersepsikan baik oleh pasar. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





PT Gajah Tunggal Tbk: Masalah dengan Financial Risk Exposure

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 15 Februari 2010




Indonesia memiliki 13 produsen ban dalam negeri dengan kapasitas produksi 45 juta ban roda empat dan 32 juta ban roda dua. PT Gajah Tunggal Tbk masih menjadi penguasa pasar ban Indonesia, kemudian diikuti oleh PT Bridgestone Tire Indonesia dan PT Goodyear Indonesia Tbk. Pasar dalam negeri hanya menyerap 25%-30% dari kapasitas produksi, sedangkan sisanya diekspor ke berbagai negara Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Australia. Nilai total produk ban Indonesia yang diekspor terus bertumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2006, nilai ekspor mencapai US$ 764,5 juta; tahun 2007 mencapai US$ 885,3 juta; dan tahun 2008 mencapai US$ 1,053 miliar. Sedangkan untuk tahun 2009, nilainya diperkirakan mencapai US$ 1-1,2 miliar.

Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diakui dunia internasional dapat mendorong industri ban nasional untuk terus menghasilkan produk yang lebih berkualitas dengan harga yang kompetitif. Di balik cemerlangnya keberhasilan ekspor, industri ban Indonesia masih mengalami permasalahan mendasar terkait persentase impor bahan baku (raw material) pembuatan ban yang hingga saat ini dapat mencapai 60%-70%.

Perkembangan Bisnis dan Keuangan

Perjalanan panjang PT Gajah Tunggal Tbk dan strategi pengembangan yang terus dilakukan, telah membawa perusahaan menjadi produsen ban yang memiliki kekuatan integrasi vertikal pada lini produksinya. Strategi ini dimulai sejak tahun 1991 ketika perusahaan melakukan akuisisi terhadap GT Petrochem Industries, perusahaan yang memproduksi kain ban dan benang nilon. Sampai tahun 1996, perusahaan terus melakukan strategi akuisisi perusahaan yang mendukung supply bahan baku. Namun krisis keuangan Asia memukul perusahaan cukup telak, yang kemudian merubah struktur bisnis perusahaan. Beberapa perusahaan yang sebelumnya diakuisisi kemudian didivestasi sebagai bagian dari program restrukturisasi hutang.

Salah satu kerjasama strategis yang dimiliki perusahaan adalah kerjasama off-take dengan Michelin untuk memproduksi ban, dengan rencana produksi sebesar 5 juta ban per tahun. Selain itu, kerjasama jangka panjang dengan Inou Rubber Company (Jepang) masih terus dilanjutkan dengan model pembayaran royalti atas setiap penjualan yang terjadi. Sedangkan untuk pemasaran dan promosi di Eropa, perusahaan bekerjasama dengan GITI Tire (Europe) BV.

Selama tahun 2006 hingga 2008, penjualan perusahaan terus meningkat setelah sebelumnya terjadi penurunan penjualan pada tahun 2005. Pada tahun 2008, total penjualan perusahaan tercatat sebesar Rp 7,96 triliun, meningkat hampir 20% dari tahun sebelumnya. Pasar ekspor menyumbang sekitar 55% dari total penjualan, dan 45% disumbang dari pasar lokal.




Berdasarkan data Capital Market Trends, tren return on equity (ROE) dan return on assets (ROA) perusahaan mengalami penurunan antara tahun 2003-2008 seiring dengan penurunan laba bersih perusahaan. Sejalan dengan peningkatan penjualan, sejak tahun 2006, rasio total asset turnover (TAT) terus meningkat, walaupun masih belum maksimal (masih di bawah satu). Sementara itu, tingkat hutang perusahaan masih cukup tinggi, ditunjukkan oleh debt-to-assets ratio di atas 80% pada tahun 2008

Financial Risk Exposure

Perusahaan memiliki financial risk exposure yang signifikan terhadap terjadinya krisis pada pasar keuangan, fluktuasi harga komoditas, kurs mata uang dan suku bunga. Semua faktor risiko tersebut memberikan pengaruh signifikan pada kinerja keuangan perusahaan dan kinerja sahamnya. Berdasarkan laporan tahunan 2008, perusahaan mengalami peningkatan biaya material sebesar 38,12% dibandingkan dengan tahun 2007, sehingga total cost of sales meningkat sebesar 24,50% pada tahun 2008. Perusahaan juga mengalami peningkatan beban bunga dan keuangan untuk obligasi sebesar 15,86%. Di lain pihak, perusahaan mengalami peningkatan kerugian kurs mata uang asing pada 2008 hingga mencapai 495,14%, atau senilai Rp 786 miliar. Bahkan nilai total ekuitas perusahaan mengalami penurunan 30,87% dibandingkan tahun 2007.




Risiko pasar modal juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perusahaan dalam melakukan pendanaan untuk kepentingan operasional dan kebutuhan strategi pertumbuhan perusahaan. Pada tahun 2007, perusahaan melakukan right issue dan penerbitan obligasi, namun krisis pasar keuangan memberikan dampak penurunan nilai saham dan obligasi perusahaan, sehingga menyebabkan perusahaan memutuskan untuk tidak melakukan pendanaan melalui aksi pasar pada tahun 2008.

Berdasarkan informasi yang termuat dalam Capital Market Trends, nilai saham perusahaan sejak tahun 2005 mengalami tren penurunan sejalan dengan penurunan earnings per share (EPS). Walaupun volatilitas harga saham perusahaan termasuk dalam kategori moderat, namun market risk (beta) saham perusahaan berfluktuasi cukup tinggi (antara 0,88-2,11). Sementara itu, persepsi pasar terhadap kinerja perusahaan, baik dari sisi kinerja saat ini maupun kinerja di masa yang akan datang, dinilai cukup rendah dan berada di bawah rata-rata perusahaan-perusahaan dalam pengamatan CAPITAL PRICE.


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





PT Kalbe Farma Tbk: Kinerja yang Kurang Didukung Penguatan Riset

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 08 Februari 2010



Industri farmasi adalah industri manufaktur yang sangat padat akan pengetahuan dengan tingkat penelitian yang paling tinggi dan inovatif dibandingkan industri manufaktur lainnya. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa perusahaan-perusahaan dengan alokasi dana penelitian dan pengembangan (R&D) yang besar dan konsisten akan menjadi pemimpin di industrinya.

Perkembangan globalisasi industri farmasi memberikan tantangan tersendiri bagi industri farmasi Indonesia. Terlebih dengan berjalannya harmonisasi regulasi farmasi ASEAN yang menciptakan pasar tunggal farmasi di ASEAN, memberikan peta persaingan industri farmasi yang lebih kompleks dan lebih ketat. Perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dituntut untuk mampu meningkatkan competitive advantage-nya, paling tidak melalui tiga hal berikut: mempertahankan pasar domestik, mengembangkan pasar ekspor, dan membangun aliansi strategis yang tepat.

Walaupun konsumsi obat per kapita Indonesia masih paling rendah di antara negara-negara ASEAN, namun rerata pertumbuhan industri farmasi Indonesia berada di kisaran 13%-15% per tahun dan merupakan potensi pasar farmasi terbesar di ASEAN. Pada tahun 2004 pemerintah mulai menggalakkan program asuransi kesehatan bagi masyarakat, yang berdampak pada jumlah belanja produk-produk kesehatan oleh masyarakat terus meningkat. Pada tahun 2009 pasar farmasi Indonesia mencapai kisaran Rp 30 triliun, dengan struktur sekitar 30% produk farmasi asing dan 70% produk farmasi domestik.

Kinerja Keuangan Perusahaan


PT Kalbe Farma Tbk memiliki empat (4) segmen bisnis, yaitu: obat resep, produk kesehatan, produk nutrisi, dan, distribusi dan kemasan. Keempat segmen bisnis ini memberikan kontribusi yang hampir berimbang dengan pertumbuhan penjualan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini memberikan gambaran kemampuan perusahaan dalam membangun segmen bisnisnya, bahkan saat ini perusahaan telah melakukan ekspansi ke negara-negara ASEAN. Walaupun nilai total ekspor yang diperoleh masih cukup kecil, sekitar 4%-6% dari total penjualan.


Seperti kebanyakan perusahaan farmasi Indonesia, PT Kalbe Farma Tbk terutama mengandalkan pada produksi dan pemasaran branded generic, obat generik, dan obat lisensi dari perusahaan farmasi luar negeri. Walaupun saat ini perusahaan memiliki penjualan dan tingkat keuntungan yang baik, tetapi alokasi R&D perusahaan hanya di bawah 1% dari total penjualan. Nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan farmasi internasional, yang dapat mencapai 15%-20% dari total penjualan perusahaan.


Sumber: Capital Market Trends, CAPITAL PRICE


Sejak tahun 2006 perusahaan telah menurunkan tingkat hutangnya, debt-to-assets ratio (DAR) perusahaan stabil di kisaran 35%. Sedangkan net profit margin perusahaan cenderung stabil di kisaran 10%-12%, kecuali tahun 2008. Kontras dengan penurunan hutang, peningkatan penjualan, dan stabilnya marjin laba bersih; return on equity (ROE) perusahaan menurun secara konsisten dari tahun ke tahun. Hal ini lebih disebabkan oleh pertumbuhan ekuitas perusahaan yang tinggi dari kontribusi keuntungan perusahaan.


Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2009, total investasi perusahaan adalah sebesar Rp 1,08 triliun (1,5 kali dari nilai yang diinvestasikan pada tahun 2008). Terbagi atas Rp 374,74 miliar untuk investasi jangka pendek dan deposito berjangka, Rp 519,90 miliar untuk penambahan investasi pada anak perusahaan, dan Rp 187,34 miliar untuk perolehan aktiva tetap. Dengan demikian, walaupun alokasi R&D perusahaan terlihat kecil, tetapi perusahaan tetap memberikan perhatian kepada pengembangan bisnis perusahaan ke depan dengan nilai investasi pada anak perusahaan dan aset yang cukup besar.


Kinerja Saham dan Persepsi Pasar


Harga saham perusahaan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2002 hingga tahun 2005, dan cenderung stabil dalam kurun waktu 2006 sampai akhir tahun 2008. Pada saat terjadi krisis keuangan global, harga saham perusahaan terus mengalami penurunan hingga akhir tahun 2009, dan kembali menguat seiring dengan penguatan pasar.


Sumber: Capital Market Trends, CAPITAL PRICE


Secara umum kinerja saham perusahaan masih kalah dibandingkan kinerja pasar, didasarkan pada perbandingan tingkat volatilitas terhadap rerata return tahunan perusahaan yang seringkali dibawah IHSG. Tingkat volatilitas tahunan harga saham perusahaan cenderung stabil dan mulai meningkat sejak awal 2009, seiring dengan peningkatan kembali harga sahamnya.


Sesuai pengamatan CAPITAL PRICE, pasar masih mempersepsikan perusahaan ini sebagai perusahaan yang lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan lainnya. Hal ini dicerminkan oleh persepsi pasar terhadap kinerja perusahaan saat ini (current performance) dan persepsi pasar terhadap kinerjanya di masa depan (future growth opportunity) yang lebih tinggi dari rata-rata perusahaan lainnya. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





PT Adhi Karya Tbk: Antara Pertumbuhan dan Risiko

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 01 Februari 2010




Perkembangan infrastruktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN. Kondisi ini menjadi cukup dilematis, terlebih tuntutan globalisasi dan perdagangan bebas semakin meningkat. Keseluruhan kebutuhan dana investasi infrastruktur sepanjang tahun 2010-2014 diperkirakan mencapai hampir Rp 2000 triliun, suatu nilai yang cukup besar. Beberapa infrastructure summit yang dilakukan pemerintah masih kurang mendapat respon dari investor. Sebagaimana diketahui, perusahaan-perusahaan yang ada dalam bisnis di indusrtri infrastruktur dan konstruksi mengalami risiko bisnis yang cukup besar dan karakter pengembalian investasi yang panjang.

Total nilai kue pasar konstruksi 2009 sekitar Rp 170 triliun, dan pada tahun 2010 diperkirakan nilai pasar konstruksi akan meningkat sekitar 8%-10%. Hal ini menunjukkan bahwa proyeksi tahun 2010 pertumbuhan pasar konstruksi akan kembali normal seperti pada tahun 2003-2007. Perkembangan sektor konstruksi dan infrastruktur memberikan peluang yang besar bagi PT Adhi Karya Tbk (ADHI) sebagai salah satu perusahaan kontraktor besar dan mampu menembus pasar luar negeri.

Kinerja Keuangan: Pertumbuhan dan Risiko Bad Debt

Penjualan perusahaan sejak tahun 2002 hingga tahun 2008 terus meningkat, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 27,36%. Hal ini menunjukkan perusahaan mampu terus mengembangkan bisnisnya. Penghasilan perusahaan terutama dibagi dalam tiga golongan jenis bisnis, yaitu construction services, EPC services, dan investment. Dalam bisnis construction services, perusahaan menggarap proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan gedung. Dalam bisnis EPC services, perusahaan mengerjakan proyek-proyek pembangkit tenaga listrik dan konstruksi untuk industri minyak dan gas. Sedangkan bisnis investment adalah investasi pada anak-anak perusahaan yang bergerak dalam bidang properti, konstruksi, dan perdagangan. Penghasilan perusahaan sekitar 90% masih dikuasai oleh construction services.

Peningkatan penjualan tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 33,50%. Sebaliknya keuntungan bersih menurun sebesar 26,99%. Penurunan ini disebabkan terutama oleh dua faktor, yaitu meningkatnya alokasi bad debt expense sebesar Rp 146 miliar dan beban risiko valuta asing terhadap laporan keuangan perusahaan sebesar Rp 12 miliar.



Alokasi bad debt expense terutama dari alokasi piutang perusahaan yang kemungkinan tidak dapat diperoleh, dan hilangnya nilai investasi pada suatu perusahaan. Salah satunya adalah terkait dengan proyek pembangunan monorail di Jakarta. Nilai proyek yang dilakosikan oleh perusahaan yang tidak dapat tertagih adalah sebesar Rp 26,7 miliar dan nilai investasi pada perusahaan PT Jakarta Monorail sebesar Rp 13,9 miliar (setara dengan 7,65% kepemilikan saham). Salah satu proyek lainnya yang mengalami permasalahan adalah pembangunan jembatan Dumai, dengan nilai piutang usaha yang dibebankan mencapai Rp 16,4 miliar.

Pada tahun 2009 keuntungan perusahaan diperkirakan akan meningkat sekitar 40%-50% dari keuntungan bersih tahun sebelumnya. Meningkatnya keuntungan ini selain dari peningkatan pendapatan perusahaan juga terkait dengan telah dialokasikannya bad debt expense yang signifikan pada tahun sebelumnya. Diharapkan tidak timbul lagi hal-hal seperti ini pada laporan keuangan 2009 maupun pada perkembangan bisnis perusahaan ke depannya.

Sementara itu, kinerja keuangan perusahaan berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2008 menunjukkan peningkatan penjualan dan keuntungan bersih. Masing-masing sebesar 32,65% dan 22,99% dibandingkan periode yang sama tahun 2007. Namun keuntungan operasional menurun sebesar 15,71%.

Kinerja Pasar: Penurunan Kinerja dan Tingginya Fluktuasi Harga


Berdasarkan pengamatan CAPITAL PRICE, kinerja pasar perusahaan terus mengalami penurunan sejak tahun 2005. Data Capital Market Trends menunjukkan PER dan PBV terus menurun tajam sepanjang tahun 2005 hingga 2009, demikian pula shareholder market value added (SMVA). PER, PBV, SMVA perusahaan pada 2005 tercatat masing-masing sebesar 22,64 kali, 4,83 kali, dan 382,93%. Kemudian pada 2009 tercatat 6,43 kali, 0,91 kali, dan minus 8,74%. Hal ini menjadi kontras apabila dibandingkan dengan pertumbuhan perusahaan, baik dari penjualan maupun keuntungan. Terlebih apabila diperhatikan ROE perusahaan cenderung stabil sepanjang tahun pengamatan, kecuali tahun 2008.


Sumber: Capital Market Trends, CAPITAL PRICE


Harga saham perusahaan sangat fluktuatif. Sepanjang tahun 2004 hingga 2009 pergerakan harga saham perusahaan berada pada kisaran Rp 400 – Rp 1600, suatu kisaran yang sangat lebar. Harga saham perusahaan memiliki volatilitas yang cukup tinggi dengan rerata nilai deviasi standar berada di atas 60%, bahkan pernah mencapai lebih dari 100%. Risiko pasar perusahaan (diwakili oleh beta) menunjukkan rerata angka dikisaran 1,5-2,0; suatu nilai yang juga cukup tinggi.

Berdasarkan penjelasan kinerja keuangan dan kinerja pasar, seolah-olah kinerja pasar saham perusahaan kurang memiliki hubungan yang selaras dengan fundamental perusahaan. Tetapi, antara kinerja keuangan dan kinerja pasar perusahaan sama-sama mencerminkan risiko yang tinggi. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel