Tuesday, March 16, 2010

Perusahaan dan Long-term Value Creation

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 08 Maret 2010



Cepatnya perkembangan teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi, semakin terintergrasinya pasar di seluruh dunia, krisis lingkungan semakin nyata, krisis ekonomi dan keuangan yang masih belum selesai, ketidakstabilan sosial dan politik di berbagai negara, menghadirkan ancaman dan peluang pada saat ini. Perubahan yang sedang terjadi memiliki tingkat intensitas dan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan pada era-era sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh William Bernquist seorang organizational theorist dalam Ray (2001): “…the present environment of unpredictable and perpetual change is not phase or period of transition but the new reality.”

Paling tidak ada empat poin yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi dunia saat ini. Pertama, perubahan besar dalam distribusi informasi sehingga jumlah audiens pun semakin besar dan informasi dapat mengalir dengan bebasnya. Informasi sederhana di belahan dunia yang jauh bisa menyebabkan ketidakstabilan global. Fenomena ini sering dikaitkan dengan istilah butterfly effect dalam teori chaos.

Kedua, semakin tingginya tuntutan akan pengetahuan dan inovasi. Kemampuan dalam mengelola pengetahuan dan inovasi dapat memberikan peluang lebih besar bagi individu dan organisasi untuk beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang turbulens.

Ketiga, pengaruh globalisasi dan interkoneksitas yang semakin nyata. Dengan didukung kemajuan teknologi, saat ini globalisasi semakin cepat lajunya. Aliran dana investasi pun dapat keluar masuk berbagai pasar dengan mudahnya.

Keempat, semakin tingginya risiko sistemik yang mempengaruhi negara dan perusahaan. Meningkatnya interdependensi antar negara menyebabkan peningkatan risiko sistemik dari krisis ekonomi global, krisis lingkungan, penyebaran penyakit, dan lainnya. Oleh karenanya ketahanan atas risiko sistemik perlu ditingkatkan dengan meningkatkan inovasi sehingga dapat memperkokoh competitive advantage dan terjaganya kondisi lingkungan.

Tantangan Bagi Perusahaan

Kompleksitas yang semakin tinggi memberikan peningkatan pada risiko bisnis dan ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan. Perhatian pada kinerja dan kesehatan perusahaan dalam jangka panjang menjadi sangat mendasar walaupun ini merupakan tugas yang tidak mudah. Kita telah menyaksikan bagaimana perusahaan-perusahaan seperti Enron, Fannie Mae, Freddie Mac, dan Lehman Brothers, telah bangkrut terlepas dari besarnya ukuran perusahaan-perusahaan tersebut. Kebangkrutan mereka lebih banyak disebabkan oleh perilaku yang berakar pada short-termism sehingga perusahaan-perusahaan seperti mereka lupa bahwa pertumbuhan di masa datang dibangun oleh tindakan-tindakan saat ini.

Tantangan berpikir jangka panjang adalah bagaimana ketika perusahaan dalam kesehariannya lebih banyak menghadapi masalah-masalah jangka pendek. Misalnya bagaimana perusahaan menjaga cash flow-nya agar tetap seimbang antara pemasukan dan pengeluaran, karena perusahaan yang tidak memiliki cash yang cukup tentunya akan bermasalah dengan kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya penting sekali bagi perusahaan untuk memastikan bahwa langkah-langkah jangka pendek yang dilakukan memberikan peluang yang besar pula bagi pertumbuhan di masa datang. Misalnya perusahaan yang sedang melakukan usaha turnaround membutuhkan efisien biaya di berbagai lini yang cukup signifikan. Namun, apabila salah memangkas biaya yang sebenarnya memberikan kontribusi pada penciptaan value di masa depan, justru bisa jadi future cash flow perusahaan malah dapat terganggu.

Pola kerja perusahaan akan terbantu apabila mampu membuat strategi value creation baik dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, serta menentukan value driver yang utama bagi kinerja dan kesehatan perusahaan.

Komunikasi dan Transparansi

Hasil studi McKinsey (Dobss, dkk; 2005) menunjukkan bahwa pendorong utama shareholder return adalah ekspektasi kinerja perusahaan di masa depan. Ekspekstasi cash flow dalam jangka waktu lebih dari tiga tahun mencapai 70%-90% nilai pasar saham saat ini. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pasar modal melihat kinerja jangka panjang perusahaan dalam penilaian saham.

Pada bulan September 2005, CFA Centre for Financial Market Integrity dan Business Roundtable Institute for Corporate Ethics mengadakan “Symposium Series on Short-Termism”. Mereka mempublikasikan hasil diskusi dan rekomendasi mereka dalam tulisan berjudul: Breaking the Short-Term Cycle: Discussion and Recommendations on How Corporate Leaders, Asset Managers, Investors, and Analysts Can Refocus on Long-Term Value. Salah satu rekomendasi mereka adalah tentang bagaimana komunikasi dan transparansi perusahaan sebaiknya dilakukan, yaitu:

  1. Menganjurkan perusahaan untuk menyediakan informasi yang berguna, mengkomunikasikan tentang strategi dan visi jangka panjang perusahaan, dan termasuk laporan keuangan yang transparan yang merefleksikan operasional perusahaan.
  2. Menganjurkan perusahaan untuk menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dalam berkomunikasi dibandingkan menggunakan bahasa akuntansi dan legal yang lebih sulit dimengerti.
  3. Mendorong perusahaan menggunakan long-term investment statement kepada para pemegang saham sehingga akan memberikan gambaran yang jelas tentang model operasional perusahaan.
  4. Meningkatkan integrasi fungsi investor relations dan corporate legal untuk semua proses disclosure perusahaan sehingga komunikasi perusahaan tidak membingungkan investor dan analis.
  5. Menganjurkan investor institusi (seperti dana pensiun) juga untuk menggunakan long-term investment statement kepada para ahli warisnya.

CAPITAL PRICE sebagai lembaga independen mendukung upaya-upaya perusahaan untuk tidak terjebak pada short-termism dan melandaskan diri pada perspektif jangka panjang. Mendukung seperti yang dikatakan CFA Institute (2006) bahwa mungkin tanggung jawab yang paling penting bagi eksekutif perusahaan adalah mengkomunikasikan dan bertindak di atas nilai-nilai perusahaannya dan menyatukan nilai-nilai tersebut dengan strategi jangka panjang dan value proposition perusahaan.


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel




Monday, March 15, 2010

Perspektif Jangka Panjang dan Tantangan Short-termism

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 01 Maret 2010




Perspektif jangka pendek telah memenuhi fokus banyak orang di berbagai bidang, termasuk dalam pasar modal dan investasi. Salah satunya adalah keputusan membeli dan menjual saham setelah keluarnya informasi earnings per share (EPS) perusahaan setiap kuartalnya. Fenomena ini diistilahkan sebagai short-termism. Short-termism merujuk CFA Institute, adalah fokus yang berlebihan kepada earnings guidance jangka pendek, dikombinasikan dengan kurangnya perhatian kepada strategi, fundamental, dan pendekatan konvensional untuk penciptaan nilai (value creation) jangka panjang.

Mauboussin (2006) mengungkapkan bahwa meluasnya perspektif jangka pendek melibatkan kombinasi peran dari perusahaan, investor dan manajer investasi. Demikian pula media juga berperan penting, seperti yang diungkapkan oleh Liljeblom dan Vaihekoski (2009). Mereka menemukan bahwa telah terjadi peningkatan exposure oleh media tentang laporan keuangan kuartalan perusahaan dan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja keuangan dari kuartal ke kuartal, sehingga menimbulkan pertanyaan atas perhatian perusahaan tentang masa depan jangka panjangnya.

Investor dan Manajer Investasi

Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan short-termism pada investor dan manajer investasi. Pertama, dorongan untuk memperoleh return investasi yang tinggi dalam waktu yang cepat. Hal ini dilakukan dengan melakukan jual-beli saham dalam waktu singkat. Mereka mempercayai bahwa return yang diperoleh akan lebih besar. Padahal, semakin sering bertransaksi, maka biaya yang ditanggung juga semakin tinggi. Banyak penelitian juga telah membuktikan semakin aktif perdagangan memberikan return portofolio investasi yang lebih rendah. Seperti Barber dan Odean (2000) yang meneliti kinerja saham individu di Amerika, dan penelitian Hariyanto (2005) terhadap kinerja reksadana pendapatan tetap di Indonesia.

Kedua, adanya overconfidence oleh investor dan manajer investasi. Banyak investor dan manajer investasi yang percaya bahwa mereka mampu melakukan market timing. Yaitu menempatkan investasi pada tempat dan waktu yang tepat, dengan melakukan prediksi pada harga saham di masa depan. Di lain pihak, berbagai penelitian di luar negeri maupun di Indonesia, telah memberikan hasil yang konsisten bahwa kinerja sekitar 2/3 dari dana kelolaan manajer investasi tidak mampu mengalahkan pasar.

Walau demikian, perilaku jangka pendek dapat memberikan efek likuiditas bagi pasar. Demikian pula keragaman tipe investor dapat mendukung keefisienan pasar (Mauboussin, 2006). Tetapi, yang perlu menjadi perhatian adalah tentunya tujuan investasi yang ingin dicapai. Mendukung apa yang dikatakan Mauboussin, jangan sampai tujuan investasi menjadi terganggu karena strategi dan perilaku investasi yang berakar pada short-termism.

Perusahaan

Graham dkk (2004) menemukan bahwa para eksekutif keuangan di Amerika lebih memilih earnings, terutama EPS, sebagai metrik yang paling penting ditampilkan bagi audiens eksternal perusahaannya. Bahkan mereka menemukan para manajer akan menghindari proyek dengan NPV (net present value) positif apabila dapat menurunkan earnings kuartalan perusahaan. Lebih jauh, mereka menemukan bahwa lebih dari 3/4 manajer lebih memilih untuk melakukan earnings smoothing dibandingkan peningkatan economic value, dengan tujuan untuk menjaga harga saham perusahaan.

Dalam behavioral finance, fenomena ini dikaitkan dengan availability heuristic, yaitu kecenderungan orang untuk mendasari pengukuran pada informasi yang diterima oleh banyak orang. Kontras dengan persepsi para manajer perusahaan, penelitian Hsieh dkk (2006) mengkonfirmasi bahwa earnings smoothing tidak memberikan pengaruh pada valuasi harga saham, return pemegang saham, dan volatilitas harga saham.

Di lain pihak, Bushee (2004) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan usaha investor relation dengan melakukan earnings guidance dan berita-berita yang terkait, menarik lebih banyak transient investor. Yaitu investor yang memiliki perputaran portofolio yang tinggi dengan dana yang dialokasikan rendah. Bushee menyarankan agar perusahaan untuk memberikan informasi yang lebih berhubungan dengan value driver yang mendasari bisnis perusahaan.

Dengan demikian komunikasi perusahaan dengan pasar modal menjadi sangat penting. Dobss dkk (2005) menyarankan dua hal bagi perusahaan untuk berkomunikasi dengan pasar modal. Pertama, mengidentifikasi dan melakukan dialog dengan investor yang memang akan memberikan dukungan pada strategi perusahaan, bukan investor yang justru akan menyerang perusahaan. Kedua, manajer perlu memberikan penjelasan kepada analis yang mengikuti perusahaannya tentang gambaran industri dan bagaimana strateginya akan memberikan keuntungan yang sustainable.

Dobss dan Keller (2005) memberikan beberapa metrik yang dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kinerja keuangan perusahaan dibandingkan EPS. Yaitu metrik seperti ROIC (return on invested capital), economic profit atau EVA (economic value added), dan pertumbuhan. Menurut mereka, EPS memiliki kerentanan terhadap manipulasi. Seperti dengan melakukan pengalokasian biaya pada akun investasi dalam pengembangan, efisiensi biaya yang merusak nilai, share repurchase, akuisisi dan divestasi. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel