Friday, June 25, 2010

Prinsip Investasi dan Strategi Barbell

Tulisan ini dipublikasikan pada Majalah Lifestyle Asuransi ACA, edisi bulan Juni 2010




Berinvestasi memerlukan prinsip-prinsip yang perlu dipegang teguh oleh investor. Berbagai penelitian terhadap investor-investor sukses, semua dari mereka selalu memegang teguh prinsipnya. Setidaknya ada tiga prinsip mendasar dalam investasi yang sangat penting untuk menjadi landasan dalam cara berpikir dan bertindak. Pertama, capital preservation atau perlindungan terhadap modal, yaitu mempertahankan apa yang telah dimiliki. Prinsip ini sangat mendasar bagi seluruh aktivitas investasi.

Seperti yang dikatakan oleh Warren Buffet: “jangan pernah kehilangan uang”. Jika kita kehilangan 50% modal, maka kita perlu mendapatkan return 100% jika ingin kembali ke modal awal. Sesuatu yang lebih sulit dilakukan. Dengan perlindungan terhadap modal yang menjadi utama, tujuan pertumbuhan aset investasi memiliki dasar yang lebih kokoh.

Kedua, mengelola risiko secara aktif. Risiko bersifat kontektual. Risiko berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman, pengalaman, dan kompetensi (Mark Tier, 2004). Oleh karenanya investor perlu melakukan pembelajaran secara bertahap dan terus menerus sehingga dapat mempertajam kompetensi di bidangnya masing-masing. Apa yang dilakukan pembalap F1 akan tampak sangat berisiko bagi kebanyakan orang, tetapi bagi Michael Schumacher risikonya menjadi sangat rendah karena telah membangun kompetensi yang tidak dimiliki orang lain.

Ketiga, membangun model investasi yang disesuaikan profil dan karakternya. Setiap investor memiliki tujuan, kepribadian, pengetahuan, pengalaman,dan kompetensi yang berbeda-beda. Dengan prinsip ini kita dapat memahami kenapa ada investor yang lebih senang berinvestasi pada aset tertentu, lebih konservatif, namun ada juga yang terlihat agresif.

Strategi Barbell

Salah satu strategi investasi yang dapat digunakan oleh investor adalah strategi investasi barbell. Strategi ini sebenarnya lebih cocok bagi mereka yang masih aktif bekerja dan tidak memiliki keahlian yang memadai dalam investasi. Sesuai dengan namanya, barbell, investasi ini memiliki dua portofolio, kiri dan kanan. Portofolio kiri berisi aset-aset yang terdiversifikasi dengan luas, misalnya reksadana, ETF (exchange traded fund), atau investasi yang menjadi indeks sebagai basisnya. Portofolio kanan berisi aset-aset yang memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi, seperti saham lapis kedua, venture capital, dan investasi pada bisnis.


Gambar 1. Strategi Investasi Barbell
Sumber: Lucas (2006)


Strategi ini akan semakin bekerja dengan baik apabila didukung poros penopangnya, yaitu secara disiplin melakukan investasi yang rutin setiap waktunya. Keseimbangan antara portofolio kiri dan kanan disesuaikan tidak hanya dengan nilai uangnya tetapi juga usaha yang dilakukan. Pada portofolio kiri, karena sifatnya terdiversifikasi luas, maka akan tidak memerlukan perhatian lebih banyak dibandingkan portofolio kanan. Oleh karenanya, portofolio kiri biasanya memiliki bobot nilai uang yang lebih tinggi dibandingkan portofolio kanan. Namun, tentunya hal ini tergantung karakteristik investor dan peluang yang ada. Dengan demikian, waktu/momentum juga menjadi pertimbangan dalam alokasi aset pada strategi barbell.

Strategi barbell memberikan insight bahwa dengan melakukan investasi yang rutin, Anda telah melakukan perlindungan terhadap uang yang dimiliki dari penggunanaan yang kurang tepat. Anda yang sedang bekerja dan mengabdi pada bidang lain di luar investasi, dapat memfokuskan energi pada bidang kompetensi Anda, namun tetap memiliki peluang dalam pertumbuhan kekayaan yang memadai.

Apapun strategi yang digunakan, sebaiknya Anda mengimplementasikan ketiga prinsip investasi yang telah dijelaskan sebelumnya dengan sungguh-sungguh. Keberhasilan investasi akan berpeluang semakin besar apabila terjadi keselarasan antara prinsip, strategi, dan implementasi secara disiplin. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel

PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk: Besarnya Pengaruh Harga Bahan Baku

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 24 Mei 2010




PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk didirikan pada tahun 1972. Perusahaan memiliki ruang lingkup kegiatan usaha meliputi produksi dan perdagangan pakan ternak, peralatan peternakan dan pengolahan daging ayam serta penyertaan saham pada perusahaan lain. Saat ini, sebesar 55,45% kepemilikan saham perusahaan dimiliki oleh PT Central Agromina, sedangkan sisanya dimiliki oleh publik. Perusahaan masih merupakan bagian dari grup Charoen yang dikendalikan oleh keluarga Jiaravanon dari Thailand.

Dapat dikatakan bahwa perusahaan terutama bergerak dalam industri pakan ternak. Hal ini dapat terlihat dari 75% pendapatan perusahaan dikontribusi dari usaha pakan ternak, terutama pakan ternak unggas. Pakan ternak memiliki kontribusi hingga mencapai sekitar 70% dari total biaya produksi peternakan. Peternakan unggas menyerap sekitar 83% dari produksi pakan ternak, sedangkan sisanya diserap oleh peternakan babi, sapi perah, akuakultur, dan peternakan lainnya.

Industri pakan ternak adalah industri yang didominasi oleh perusahaan dengan modal asing. Beberapa perusahaan besar yang bermain dalam industri ini adalah Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce, CJ Feed, Gold Coin, dan Sentra Profeed. Diperkirakan kapasitas produksi pakan ternak saat ini sekitar 14-15 juta ton per tahun, namun daya serap industri peternakan terhadap pakan ternak diperkirakan hanya sekitar 8-9 juta ton per tahun.

Salah satu permasalah utama yang dihadapi oleh industri pakan ternak adalah kebutuhan bahan baku yang masih perlu diimpor terutama untuk bahan baku jangung, bungkil kedelai, tepung tulang & daging, serta tepung daging unggas. Kontribusi nilai bahan baku dapat mencapai 60% dari biaya produksi pakan ternak. Jagung sebagai bahan baku porsinya dalam pakan ternak dapat mencapai sekitar 50%. Selain itu, anacaman virus flu burung juga masih menghantui para peternak, sehingga dapat mengancam industri pakan ternak.

Bisnis dan Keuangan

Tiga sumber pendapat utama perusahaan adalah dari segmen bisnis pakan ternak, anak ayam usia sehari, dan ayam olahan. Masing-masing memberikan kontribusi pendapatan pada kisaran 75%, 15% dan 8%. Fasilitas produksi pakan ternak perusahaan tersebar di berbagai kota, yaitu: Medan, Lampung, Tangerang, Semarang, Sidoarjo dan Makasar. Sedangkan fasilitas produksi anak ayam usia sehari tersebar di berbagai pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Segmen bisnis ayam olahan perusahaan juga terus berkembang sejak dibangun pada tahun 2000, dan meningkat dari tahun ke tahun terutama sejak tahun 2006.

Pendapatan perusahaan bertumbuh secara konsisten setiap tahunnya. Rerata pertumbuhan per tahun (CAGR) perusahaan dalam periode 2003-2009 mencapai sekitar 20,58%. Pada tahun 2003 pendapatan perusahaan berada di nilai Rp 4,30 triliun, sedangkan pada 2009 telah menjelma menjadi Rp 14,56 triliun. Pertumbuhan pendapatan juga diikuti dengan pertumbuhan harga pokok produksi (COGS) dengan tingkat yang hampir sama.

Rerata COGS beberapa tahun terakhir berada di kisaran 85% terhadap penjualan, namun pada tahun 2009 perusahaan mampu mencatatkan hanya sebesar 80,29%. Penurunan COGS didorong oleh menurunnya bahan utama pakan ternak pada tahun 2009, terutama harga jagung. Tahun 2009, perusahaan diuntungkan selain harga bahan baku tetapi juga oleh penurunan nilai tukar dollar terhadap rupiah, dua faktor yang signifikan dalam memberikan pengaruh pada laba perusahaan.




Sejak tahun 2004 nilai rasio hutang terhadap aset (DAR) perusahaan berada di kisaran 73%-76%. Dengan hasil uang kas dari keuntungan operasional pada tahun 2009 yang cukup banyak, perusahaan menurunkan beban hutangnya, sehingga DAR perusahaan menjadi hanya sekitar 45%. Sementara itu, rasio laba terhadap ekuitas (ROE) perusahaan mencapai di kisaran 17%-20% sejak tahun 2006. Demikian pula rasio laba terhadap modal yang diinvestasikan (ROIC) juga meningkat sejak tahun 2006, dan berada di kisaran 5%-8% hingga tahun 2008. Pada tahun 2009, ROE perusahaan melonjak tajam hingga mencapai lebih dari 50%, demikian pula terjadi peningkatan pada ROIC perusahaan.

Kinerja Saham

Harga saham perusahaan memiliki nilai risiko pasar (beta) di bawah satu, saat ini beta perusahaan berada di kisaran 0,8-1,0. Rasio harga saham perusahaan dibandingkan dengan IHSG menunjukkan tren penurunan sejak bulan April 2003 dan meningkat kembali ketika memasuki bulan-bulan akhir tahun 2007. Harga tertinggi penutupan saham perusahaan dicapai pada penutupan bulan April 2010.

Peningkatan tajam harga saham perusahaan saham perusahaan mulai terjadi pada pertengahan tahun 2007 dan kemudian mengalami penurunan pada saat krisis 2008. Seiring dengan pulihnya pasar saham peningkatan saham perusahaan juga terjadi pada tahun 2009 dan diteruskan hingga kuartal pertama 2010. Namun, peningkatan kali ini cukup mengejutkan, dengan harga tertinggi 2010 dibandingkan harga tertinggi 2007/2008 mencapai sekitar 2,5 kali. Pada saat ini PER perusahaan berkisar antara 5-6 kali, masih cukup rendah dibanding historis yang pernah terjadi pada tahun 2008. Namun demikian, PBV perusahaan telah berada pada kisaran yang tinggi berdasarkan historis yang pernah ada, yaitu antara 2,8-3,4. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel

PT Bakrieland Development Tbk: Dibawah Kendali Perusahaan Investasi

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 10 Mei 2010




PT Bakrieland Development Tbk merupakan salah satu perusahaan properti yang berada dalam Kelompok Usaha Bakrie. Bidang usaha perusahaan terutama dalam bidang properti dan infrastruktur yang terkait dengan properti. Dalam bidang usaha properti, perusahaan memfokuskan pada tiga area, yaitu: city property, landed residential, dan hotel & resort. Sedangkan dalam bidang usaha infrastruktur, perusahaan beroperasi dalam area jalan tol dan pengelolaan & distribusi air.

Pemegang saham perusahaan terbesar (24,38%) adalah Avenue Luxembourg Sarl sebuah perusahaan investasi yang merupakan bagian dari Avenue Capital Group, New York. Pemegang saham terbesar kedua adalah PT Bakrie Brothers Tbk (BNBR), dengan kepemilikan sebesar 11,19%, yang juga merupakan sebuah perusahaan investasi.

Kinerja Keuangan

Rerata pertumbuhan pendapatan perusahaan sejak tahun 2003 hingga tahun 2009 mencapai sebesar 74,03%. Pendapatan perusahaan pada tahun 2003 hanya sebesar Rp 38,12 miliar, kemudian pada tahun 2009 mencapai Rp 1,059 triliun. Pertumbuhan pendapatan perusahaan juga dibarengi dengan pertumbuhan aset dan ekuitasnya. Pada tahun 2003, aset dan ekuitas perusahaan masing-masing sebesar Rp 683,96 miliar dan Rp 477,11 miliar. Pada tahun 2009, aset dan ekuitas perusahaan telah menjelma menjadi masing-masing Rp 11,593 triliun dan Rp 4,642 triliun. Dengan CAGR untuk aset sebesar 60,27% dan ekuitas sebesar 46,11%.




Pertumbuhan ekuitas tertinggi terjadi pada tahun 2005 dan 2007, dengan masing-masing pertumbuhan sebesar 132% dan 213%. Peningkatan ekuitas ini sebagian besar disebabkan oleh aksi perusahaan yang melakukan penawaran saham umum terbatas pada tahun 2005 dan 2007. Sementara itu rasio hutang perusahaan yang diwakili oleh debt-to-asset ratio (DAR) mulai meningkat pada tahun 2008 hingga mencapai 45,92%. Kemudian meningkat kembali pada tahun 2009 hingga mencapai 59,95%. Peningkatan ini terjadi disebabkan perusahaan mengeluarkan Obligasi I dengan nilai dasar sebesar Rp 500 miliar (2008) dan Sukuk Ijarah I dengan nilai dasar sebesar Rp 150 miliar (2009).

Sejalan dengan pertumbuhan pendapatan, laba usaha perusahaan terus mengalami peningkatan secara nominal maupun persentase terhadap penjualan. Pada tahun 2003 laba usaha perusahaan hanya sebesar Rp 657 juta, sedangkan pada tahun 2009 mencapai lebih dari Rp 331 miliar. Sedangkan marjin laba usaha perusahaan (OPM) juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 OPM perusahaan hanya sebesar 1,72%, sedangkan pada tahun 2009 perusahaan mampu mencatatkan OPM sebesar 31,29%.

Sementara itu, laba bersih perusahaan juga cenderung meningkat secara nominal, walaupun cukup berfluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 202 miliar, sedangkan tahun 2009 hanya sebesar Rp 132 miliar. Marjin laba bersih perusahaan sejak tahun 2004 berfluktuasi antara 17%-26%, namun pada tahun 2009 hanya sebesar 12,49%. Di lain pihak, return on equity (ROE) perusahaan berada di kisaran 3%-8%, dan pada tahun 2009 ROE perusahaan hanya sebesar 2,85%.

Berfluktuasinya laba bersih perusahaan banyak disebabkan oleh akun penghasilan lain-lain perusahaan di luar penghasilan operasionalnya, seperti: 1) penghasilan bunga, 2) amortisasi selisih lebih nilai wajar terhadap harga perolehan anak perusahaan, 3) laba atas penjualan investasi anak perusahaan, 4) laba selisih kurs, dan 5) laba penjualan/penghapusan aset tetap. Pada tahun 2009, masing-masing akun tersebut memiliki nilai sebesar Rp 23,94 miliar, Rp 10,47 miliar, Rp 4,06 miliar, Rp 4,55 miliar, minus Rp 5,32 miliar, dan minus Rp 6,79 miliar.

Pada tahun 2009 perusahaan berhasil menyelesaikan beberapa pembangunan di beberapa kota, yaitu: Bakrie Tower dan Lifestyle Center di Rasuna Episentrum, Hotel Pullman Bali Legian Nirwana, dan jalan tol Kanci-Pejagan. Dengan diselesaikannya ruas tol Kanci-Pejadan pada bulan Desember 2009, perusahaan memiliki harapan bahwa ruas tol ini akan memberikan pendapatan yang berkelanjutan. Terlebih nilai investasi yang digelontorkan mencapai sekitar Rp 2,2 triliun.

Kinerja Saham

Harga saham penutupan perusahaan tertinggi pernah mencapai Rp 660 per lembar saham pada akhir Februari 2008. Secara umum, perbandingan rerata return terhadap volatilitas harga saham perusahaan relatif dibawah IHSG, baik untuk pasar sedang mengalami tren kenaikan harga maupun penurunan harga. Perbandingan harga saham perusahaan terhadap IHSG memiliki nilai tertinggi sepanjang periode Februari 2004 hingga Agustus 2005, dan kemudian tidak pernah mencapai kembali walaupun pada saat terjadi kenaikan kembali pada bulan Agustus 2008 hingga Maret 2009.

Risiko pasar (beta) perusahaan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2007, beta saham perusahaan berada di kisaran 1,6 – 1,9. Sementara itu persepsi pasar terhadap current performance sejak tahun 2005 berada di bawah rerata perusahaan lainnya, demikian pula untuk future growth opportunity perusahaan secara umum. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel

PT Kawasan Industri Jababeka Tbk : Mengejar Pendapatan Berkelanjutan

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 3 Mei 2010




PT Kawasan Industri Jababeka Tbk merupakan perusahaan swasta pertama yang memperoleh izin untuk membangun suatu kawasan industri di Indonesia pada tahun 1989. Demikian pula merupakan perusahaan pengembang kawasan industri yang pertama kali menjadi perusahaan publik pada tahun 1994. Segmen bisnis perusahaan hingga saat ini terbagi dalam lima area, yaitu: 1) kawasan industri, 2) kawasan perumahan, 3) kawasan komersial, 4) infrastruktur, dan 5) golf.

Sebagian besar bisnis perusahaan terpusat di kawasan Jababeka, Cikarang. Beberapa bisnis perusahaan yang berada di luar Cikarang adalah kawasan industri Cilegon, Borobudur International Golf and Country Club di Magelang, dan perkantoran Menara Batavia di Jakarta.

Pada kawasan industri perusahaan menyediakan kavling industri dan pabrik siap pakai bagi perusahaan berskala kecil hinggal perusahaan multinasional berskala besar. Pada kawasan perumahan perusahaan menawarkan rumah dengan konsep kluster serta kondominium. Pada kawasan komersial perusahaan menyediakan ruko, ruang perkantoran, area komersial, dan kelab eksekutif. Sedangkan dalam bisnis infrastruktur perusahaan memberikan pelayanan pengelolaan air bersih, pengelolaan limbah, serta manajemen kawasan.

Kinerja Keuangan

Pendapatan perusahaan mengalami peningkatan pesat pada tahun 2005 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan pendapatan tercatat sebesar Rp 567,4 miliar, tertinggi sepanjang berdirinya perusahaan. Hal ini didorong oleh keberhasilan dalam usaha pemasaran kawasan industri di Cilegon untuk pertama kalinya. Namun, pada tahun-tahun berikutnya pendapatan perusahaan tidak dapat melebihi tahun 2005, dan berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, perusahaan membukukan pendapatan sebesar Rp 392,6 miliar.




Laba usaha perusahaan pada tahun 2009 tercatat sebesar Rp 46,8 miliar, menurun cukup tinggi dibandingkan tahun 2008 yang mencapai Rp 107,2 miliar. Perusahaan membukukan laba bersih pada tahun 2009 sebesar Rp 16,4 miliar, sedangkan pada tahun 2008 perusahaan membukukan rugi bersih sebesar Rp 62,4 miliar. Kerugian ini disebabkan oleh adanya rugi dari selisih kurs sebesar Rp 144,6 miliar dan pembayaran bunga pinjaman sebesar Rp 94,9 miliar. Laba perusahaan pada tahun 2009 terutama dibantu oleh adanya laba dari selisih kurs sebesar Rp 105,1 miliar, sebab pada tahun ini perusahaan masih melakukan pembayaran bunga pinjaman yang tinggi sebesar Rp 114,5 miliar dan terjadinya penuruan pendapatan sekitar 15% dari tahun sebelumnya.

Besarnya biaya bunga yang ditanggung oleh perusahaan terutama berasal dari pinjaman bridging loan facility yang digunakan untuk pembangunan pembangkit listrik. Sementara itu nilai hutang perusahaan kembali meningkat pada tahun 2007 hingga 2009, setelah mengalami tren penurunan sejak tahun 2003 hingga 2006. Pada tahun 2009 nilai debt-to-assets ratio (DAR) perusahaan mencapai senilai 49,70%, meningkat cukup tinggi dibandingkan tahun 2006 yang hanya sebesar 14,98%. Peningkatan hutang perusahaan terkait dengan pendanaan bagi pembangunan berbagai proyek pengembangan yang sedang dilakukan perusahaan.

Pendapatan perusahaan untuk segmen kawasan industri dan perumahan pada tahun 2009 mengalami penurunan cukup tinggi, yaitu antara 30% – 60% dibandingkan tahun sebelumnya. Tren stagnan dan kecenderungan penurunan pendapatan dari bisnis kawasan industri dan perumahan mendorong perusahaan untuk melakukan inovasi seperti melakukan pembangunan pembangkit listrik, dry port, movie land, dan medical city. Dalam hal ini dapat dikatakan perusahaan sedang berupaya menciptakan blue ocean bagi bisnisnya serta semakin mengintegrasikan produk dan jasanya.

Saat ini perusahaan memfokuskan diri untuk meningkatkan recurring revenue dengan lebih mengembangkan bisnis dengan produk dan jasa yang dibutuhkan secara berkelanjutan oleh pelanggannya. Data menunjukkan bahwa tiga segmen pendapatan perusahaan yaitu, jasa dan pemeliharaan, penyewaan ruang kantor dan ruko, dan golf terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di lain pihak, bisnis pembangkit listrik perusahaan telah menghasilkan pendapatan pada tahun 2009 mencapai 5,87% dari total pendapatan, walaupun masih mengalami kerugian.

Kinerja Saham

Pada tahun 2005 – 2008, nilai risiko pasar (beta) perusahaan cukup tinggi, yaitu antara 1,4 – 1,8. Pada tanggal 24 September 2007 saham perusahaan mencapai harga tertinggi dengan harga penutupan sebesar Rp 285 per lembar saham. Pada akhir November 2008 hingga awal April 2009, harga saham perusahaan stagnan di level Rp 50 per lembar saham. Harga saham perusahaan relatif terhadap IHSG mengalami tren penurunan sejak bulan November 2007. Fluktuasi harga saham perusahaan cukup tinggi dan berada di kisaran 50% hingga 80% dalam ukuran deviasi standar yang disetahunkan.

Sedangkan tingkat return saham perusahaan cukup lumayan terutama antara tahun 2004 hingga 2007 dan tahun 2009, dengan rerata return yang disetahunkan dapat berada di atas 50%. Sementara itu, persepsi pasar tentang current performance dan future growth opportunity masih di bawah rata-rata perusahaan lainnya. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel




PT Elnusa Tbk: Fokus Bisnis dan Peluang Pertumbuhan

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 26 Apr 2010




PT Elnusa Tbk merupakan perusahaan swasta nasional dengan bisnis yang melingkupi jasa hulu dan hilir migas, pengelolaan aset lapangan migas, serta manajemen data dan teknologi informasi. Core competency perusahaan terletak pada jasa layananan hulu yang terdiri dari tiga backbone competency, yaitu jasa seismik (geoscience), jasa pengeboran (drilling), dan jasa produksi ladang minyak (oilfield production).

Tahun 2007 adalah salah satu tahun terpenting dalam perkembangan bisnis perusahaan. Dengan melakukan penggabungan vertikal dan horisontal, perusahaan melakukan restrukturisasi dengan tujuan untuk menjadi perusahaan jasa migas yang terintegrasi dengan core business di bidang jasa hulu migas. Peluang pertumbuhan dan kebutuhan akan ekspansi mendorong perusahaan melakukan penawaran saham perdana (IPO) di pasar modal. Pada tanggal 6 Februari 2008 saham perusahaan pertama kali tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sebagai bagian dalam fokus pada strategi jangka panjang, pada tahun 2009 perusahaan melakukan divestasi terhadap anak perusahaan PT Infomedia Nusantara yang bergerak di bidang jasa pelayanan direktori telepon, contact center dan content.

Pemilik saham terbesar perusahaan adalah PT Pertamina (Persero) dengan kepemilikan sebesar 41,10%. Sedangkan kepemilikan besar lainnya, yaitu sebesar 37,15% sedang dalam proses pengalihan dari PT Tridaya Esta kepada PT Benakat Petroleum Energy Tbk. Kondisi ini diharapkan tidak mengganggu jalannya bisnis perusahaan, dan ke depannya justru diharapkan dapat memberikan peluang karena kedua pemilik perusahaan memiliki eksposur yang luas dalam industri migas.

Kinerja Keuangan

Pendapatan dan laba perusahaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pendapatan perusahaan pada tahun 2006 sebesar Rp 1,88 triliun, kemudian pada tahun 2009 mencapai Rp 3,66 triliun. Rerata pertumbuhan pendapatan tahunan (CAGR) sebesar 24,94%. Sedangkan laba operasi perusahaan pada tahun 2006 sebesar Rp 115,33 miliar dan di tahun 2009 mencapai Rp 276,29 miliar, dengan CAGR sebesar 33,80%.

Kinerja keuangan perusahaan pada tahun 2009 diwarnai dengan lonjakan laba bersih sebesar 248,53%. Hal ini didorong oleh laba perusahaan dari penjualan saham PT Infomedia Nusantara. Namun demikian, tahun 2009 perusahaan membukukan peningkatan pendapatan dan laba usaha dibanding tahun sebelumnya masing-masing sebesar 43,96% dan 53,16%.




Pada tahun 2009 pendapatan perusahaan sekitar 60% disumbang oleh bisnis jasa hulu migas, kemudian diikuiti oleh jasa & perdagangan hilir migas (30%). Sisanya disumbang oleh bisnis jasa & perdagangan penunjang hulu dan manajemen data & teknologi informasi. Laba usaha terbesar disumbang oleh bisnis jasa hulu migas dengan porsi lebih dari 80% terhadap total laba usaha. Sedangkan pengelolaan aset lapangan migas yang dimiliki perusahaan, yaitu Blok Bengkanai (gas) dan Blok Ramba (minyak) dapat dikatakan masih belum memberikan kontribusi bagi pendapatan perusahaan.

Pada tahun 2009, bisnis jasa hulu migas, jasa & perdagangan penunjang hulu migas, serta jasa & perdagangan hilir migas perusahaan mengalami peningkatan pendapatan dan laba usaha yang cukup tinggi. Peningkatan tertinggi terjadi pada bisnis jasa & perdagangan hilir migas dengan pertumbuhan pedapatan dan laba usaha dibandingkan tahun sebelumnya masing-masing sebesar 89,72% dan 295,98%. Namun, bisnis manajemen data dan teknologi informasi justru mengalami pertumbuhan negatif, yaitu -11,88% untuk pendapatan, dan -43,03% untuk laba usaha.

ada tahun 2009, penerimaan pelanggan tertinggi disumbang oleh Grup Pertamina dan perusahaan swasta, masing-masing menyumbang 42,41% dan 37,41%. Pendapatan dari kedua kelompok meningkat dibandingkan tahun 2008, baik dari nilai uang maupun dari persentase terhadap total pendapatan pelanggan. Pendapatan dari Grup Pertamina mengalami peningkatan tajam pada kebutuhan jasa yang terkait dengan pengembangan energi geotermal dan gas. Kelompok pelanggan perusahaan swasta yang menggunakan jasa perusahaan diantaranya adalah Exxon, Petrochina, Chevron, Vico, Total, dan Medco.

Kinerja Saham

Pada hari pertama di pasar sekunder, harga saham perusahaan ditutup pada harga Rp 515 per lembar saham. Seiring dengan penurunan pasar, harga saham perusahaan juga menurun hingga tahun 2009. Kemudian meningkat pada tahun 2009 sejalan pula dengan peningkatan pasar. Ukuran risiko pasar (beta) saham perusahaan terletak relatif stabil antara 1,1-1,3.

Sejak pertama kali listing di pasar, rasio harga saham perusahaan dibandingkan dengan IHSG terus mengalami penurunan hingga bulan Maret 2009. Namun, sejak bulan Maret hingga Juni 2009, peningkatan harga saham perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan IHSG. Setelah itu, hingga bulan April 2010 rasio harga saham terhadap IHSG kembali mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi karena harga saham perusahaan cenderung stagnan tetapi IHSG terus meningkat. Harga saham perusahaan mengalami peningkatan cukup tinggi dibandingkan periode sebelumnya setelah keluarnya laporan keuangan tahunan 2009. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel




Friday, June 4, 2010

PT Medco Energi Internasional Tbk: Berjuang untuk Pertumbuhan

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 12 Apr 2010




PT Medco Energi Internasional Tbk (Medco) adalah salah satu perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang ekplorasi dan produksi minyak dan gas. Kegiatan perusahaan tidak terbatas di Indonesia tetapi telah menjadi perusahaan dengan kegiatan internasional. Di Indonesia, perusahaan memiliki 7 blok produksi, 1 blok pengembangan, 6 blok eksplorasi, dan 1 blok partisipasi ekonomis. Untuk kegiatan internasional, perusahaan mengelola 20 blok yang tersebar di Amerika, Oman, Yaman, Libya, Tunisia dan Kamboja. Perusahaan merupakan nomor empat penghasil minyak dan gas di Indonesia setelah Chevron, Pertamina, dan CNOOC.

Perusahaan beroperasi dalam industri yang sangat strategis baik secara ekonomis maupun sosial, karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan energi, bahan baku industri, dan pemasukan devisa bagi negara. Tetapi industi minyak dan gas menghadapi tantangan yang cukup berat, diantaranya adalah: 1) tingginya volatilitas harga minyak dunia beberapa waktu belakangan ini, 2)nilai cadangan dan produksi yang terus menurun, 3) perubahan hukum dan peraturan terutama terkait dengan cost recovery dan pola kontrak kerja sama, 4) tuntutan pengusaan teknologi yang semakin tinggi terutama untuk optimalisasi sumur tua dan daerah operasi di lepas pantai, dan 5) isu lingkungan yang semakin mendesak untuk dilakukannya clean operation.

Tren yang terjadi di industri minyak dan gas Indonesia adalah terus menurunnya produksi minyak, sementara produksi gas cenderung stagnan. Kondisi ini erat kaitannya dengan lemahnya usaha eksplorasi dan produksi yang dilakukan. Banyak sumur minyak dan gas Indonesia telah berumur tua dengan cadangan yang terus menipis. Sejak tahun 2005 rerata produksi minyak Indonesia telah mencapai di bawah 1 juta barel per hari, sedangkan produksi gas cenderung tidak ada peningkatan dari 8 juta MSCF per hari. Situasi semakin diperburuk dengan ketegangan yang ada antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan pemerintah terkait dengan cost recovery kegiatan ekplorasi-produksi minyak dan gas.



* data produksi gas, hingga Oktober 2009

Sumber: Departemen ESDM


Hingga tahun 2009 cadangan terbukti (dengan tingkat kepercayaan 90%) Medco sebesar 89,14 MMBOE (juta barel minyak ekuivalen per hari), cadangan terbukti dan terduga (dengan tingkat kepercayaan 50%) sebesar 172,77 MMBOE, dan cadangan kontijen sebesar 379,75 MMBOE. Sehubungan dengan cadangan yang dimiliki, kemampuan perusahaan dalam memproduksi minyak dan gas terus menurun dengan lifting cost yang terus meningkat.

Pada tahun 2005 produksi minyak dan gas perusahaan sebesar 76,0 MBOEPD (ribu barel minyak ekuivalen per hari) dengan lifting cost sebesar US$ 2,88 per BOE (barel minyak ekuivalen). Namun, pada tahun 2009 produksi minyak menurun menjadi 52,8 MBOEPD sedangkan lifting cost menjadi US$ 8,60 BOE. Meskipun demikian, berdasarkan laporan WoodMackenzie lifting cost perusahaan pada tahun 2009 cukup rendah dibandingkan rerata perusahaan lainnya.

Selain bergerak di bidang ekplorasi dan produksi minyak dan gas, perusahaan juga bergerak dalam pembangkit tenaga listrik dan industri hilir. Saat ini perusahaan memiliki lima pembangkit listrik, beberapa kilang pengolahan LPG, ethanol, serta fasilitas penyimpanan dan distribusi bahan bakar. Sekitar 30-35% pendapatan di sumbang oleh bisnis di luar kegiatan ekplorasi dan produksi minyak dan gas.

Kinerja Keuangan dan Saham

Nilai pendapatan Medco terus mengalami peningkatan, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) 2002-2008 sebesar 24,70%. Sementara CAGR ekuitas dan aset perusahaan masing-masing adalah 10,90% dan 21,60%. Pertumbuhan perusahaan diikuti dengan tingkat hutang yang semakin meningkat hingga tahun 2007 dengan rasio hutang terhadap aset (DAR) perusahaan hingga mencapai lebih dari 75%, dan kemudian menurun pada tahun 2008 (63%).




Pertumbuhan perusahaan yang konsisten hingga tahun 2008 sayangnya tidak diikuti oleh tingkat keuntungannya. Marjin laba bersih (NPM) dan rasio laba terhadap ekuitas (ROE) perusahaan berfluktuasi dengan posisi terendah pada tahun 2007 dengan NPM 0,67% dan ROE 1,25%. Pada tahun 2008 perusahaan mencetak pendapatan dan laba tertinggi yang pernah dicapai. Perusahaan mampu meraih pendapatan hingga mencapai US$ 1.283,8 NPM mencapai 21,78% dan ROE hampir menyentuh 40%.

Tetapi, kinerja cemerlang tahun 2008 tidak berlanjut pada tahun 2009. Pendapatan perusahaan turun hingga di nilai US$ 667,8 (menurun 47,98%), sedangkan NPM dan ROE perusahaan tidak mencapai 3%. Tidak stabilnya tingkat keuntungan dan kecenderungannya untuk berada di nilai yang rendah (kecuali tahun 2008) menimbulkan pertanyaan atas kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pengembalian bagi pemegang saham.

Tingkat volatilitas harga saham perusahaan cenderung stabil, namun rerata return perusahaan sejak tahun 2007 kurang baik. Perbandingan harga saham perusahaan terhadap IHSG terus menurun sejak tahun 2006 (di atas 3), sedangkan saat ini berada di sekitar 1,5. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga saham perusahaan cukup rendah dibandingkan dengan IHSG. Bahkan dapat dikatakan bahwa harga saham perusahaan cenderung mengalami penurunan dibandingkan dengan saham-saham lainnya. Kinerja saham yang kurang baik sepertinya sejalan dengan fundamental perusahaan. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel




Sunday, May 30, 2010

PT Indosat Tbk: Di Tengah Ketatnya Persaingan Industri

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 05 Apr 2010



Infrastruktur telekomunikasi memainkan peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Jumlah penduduk yang besar dengan struktur geografis yang terdiri dari ribuan pulau memberikan peluang yang besar namun juga tantangan dalam memberikan pelayanan terhadap kebutuhan telekomunikasi.

Sektor telekomunikasi memiliki tiga jasa utama, yaitu telepon tetap (PSTN), telepon dengan mobilitas terbatas (FWA), dan telepon selular. Jumlah sambungan telepon tetap cenderung tidak mengalami pertumbuhan, sedangkan telepon dengan mobilitas terbatas dan telepon selular memiliki pertumbuhan yang tinggi, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) jumlah pengguna sejak 2004 diperkirakan mencapai 65% dan 40%.

Peraturan pemerintah tentang izin pembangunan menara, kewajiban penggunaan bersama menara dengan operator lainnya, serta kontrak dan kepemilikan menara yang 100% harus lokal memberikan tantangan sendiri. Terutama pengaruhnya terhadap kualitas layanan, tingkat daya saing, dan biaya tambahan atas penyesesuaian pembangunan dan penggunaan menara terhadap peraturan tersebut.

Saat ini persaingan dalam industri telekomunikasi menjadi sangat ketat, terutama untuk jasa telepon selular. Sekitar 85% pasar selular adalah pengguna GSM, sedangkan sisanya pengguna CDMA. Pasar GSM masih dikuasai oleh tiga besar perusahaan, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL. Sedangkan pasar CDMA dikuasai oleh Telkomsel, Bakrie Telecom, dan Mobile-8. Setidaknya ada empat hal yang menjadi penyebab dalam ketatnya persaingan industri telekomunikasi, yaitu: 1) tren semakin rendahnya biaya jasa yang diberikan, 2) hadirnya perusahaan-perusahaan baru, 3) semakin tingginya tuntutan inovasi produk dan jasa, dan 4) cepat usangnya teknologi yang digunakan.

Kinerja Bisnis dan Keuangan

PT Indosat Tbk merupakan satu dari sekian banyak perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Sebagai salah satu pionir perusahaan telekomunikasi dengan perjalanan panjang yang telah dilalui, perusahaan telah berevolusi menjadi perusahaan telekomunikasi dengan jasa yang terlengkap di Indonesia. Produk dan layanan yang diberikan perusahaan mencakup jasa selular dan broadband 3.5G, jasa telepon tetap, dan jasa MIDI (multimedia, komunikasi data dan internet).


Tabel Pendapatan Bisnis Perusahaan


Penjualan perusahaan memiliki tren meningkat sejak tahun 2002, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 18,42%. Kontribusi pendapatan perusahaan terutama disumbang oleh jasa selular (76%), kemudian diikuti oleh MIDI (14%), dan sisanya disumbang oleh jasa telepon tetap (10%).

Marjin laba bersih (NPM) perusahaan mengalami penurunan sejak tahun 2004. Pada tahun 2003 NPM perusahaan mencapai 19,06%, namun pada tahun 2009 hanya mencapai 8,15%. Di lain pihak nilai hutang perusahaan semakin meningkat. Pada tahun 2002 debt-to-assets ratio (DAR) perusahaan berada di nilai 51,81%, kemudian pada tahun 2008 telah mencapai 66,32%. Sementara itu, antara tahun 2010 hingga 2013, rerata hutang perusahaan yang jatuh tempo adalah sebesar Rp 462,75 miliar.




Perusahaan mengeluarkan belanja modal atau capital expenditure (CAPEX) sebesar Rp 9,276 triliun (2007), Rp 12,342 (2008) dan Rp 11,585 (2009). Rasio belanja modal terhadap penjualan cukup tinggi, dengan rasio sebesar 59% (2007), 66% (2008), dan 63% (2009). Tingkat belanja modal perusahaan yang cukup tinggi dan penurunan laba bersih perusahaan, memberikan pengaruh pada menurunnya arus kas dari operasi tahun 2009 hingga sebesar 38% dibandingkan tahun 2008. Sementara pada tahun 2008, arus kas dari operasi juga telah menurun sebesar 21% dari tahun 2007.

Pada tanggal 31 Desember 2008, Qatar Telecom (Qtel) resmi memiliki kendali terhadap 40,81% saham perusahaan dan menjadi pemegang saham mayoritas. Pada tahun 2009 perusahaan melakukan restrukturisasi organisasi, manajemen, dan bisnis yang diharapkan dapat merefleksikan kebutuhan pelanggan dan sejalan dengan best practice internasional. Program restrukturisasi bisnis perusahaan yang dilakukan salah satunya adalah pengurangan pelanggan jasa selular yang bernilai rendah (low value) bagi perusahaan serta perluasan dan peningkatan jaringan. Hal ini memberikan dampak pada penurunan pendapatan dan tingkat keuntungan perusahaan pada tahun 2009.

Kinerja Saham

Kinerja saham perusahaan dilihat dari rerata return terhadap volatilitas harga saham secara umum di bawah kinerja IHSG. Sejak tahun 2005 rerata return disetahunkan perusahaan tidak terlalu menggembirakan, walaupun tingkat volatilitas harga saham cenderung tidak terlalu tinggi. Sementara sejak tahun 2007 cenderung terjadi penurunan risiko pasar perusahaan, yang berada di sekitar 0,80 – 1,05.

Pasar melihat bahwa future growth opportunity perusahaan masih lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya, namun untuk current performance perusahaan tidak diekspektasi dengan tinggi oleh pasar. Hal ini sejalan dengan kinerja keuangan perusahaan yang masih belum menunjukkan nilai yang cukup baik, dan masih besarnya nilai investasi yang perlu dilakukan perusahaan untuk melakukan pengembangan usaha.

Dapat dikatakan bahwa kondisi fundamental perusahaan cenderung sejalan dengan ekspektasi pasar terhadap perusahaan. Tantangan tren penurunan harga jasa, semakin kompetitifnya persaingan dalam industri telekomunikasi, serta kebutuhan investasi yang besar perlu dijawab oleh perusahaan sehingga ekspektasi pasar terhadap perusahaan dapat meningkat. Salam investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





Wednesday, May 26, 2010

PT PP London Sumatra Tbk: Komitmen pada Sustainability

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 15 Mar 2010




Subsektor perkebunan Indonesia secara rerata memberikan kontribusi bagi PDB sebesar 2%, dengan perkiraan nilai pada tahun 2009 mencapai 112,5 triliun. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, tanaman perkebunan Indonesia didominasi oleh 12 komoditas utama, tiga besar diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, dan karet. Ketiga komoditas tersebut memiliki areal tanam masing-masing sebesar 7,32 juta hektar; 3,80 juta hektar; dan 3,52 juta hektar. Lima komoditas yang mengalami pertumbuhan areal tanam dan jumlah produksi yang paling tinggi selama tahun 2005-2009 adalah kelapa sawit, karet, kakao, tebu, dan kapas. Sementara itu, sepanjang tahun 2005-2009, komoditas yang mengalami pertumbuhan produktivitas tertinggi adalah kelapa sawit, karet, dan kapas.

Untuk pasar ekspor, yang menjadi komoditas unggulan Indonesia diantaranya adalah kelapa sawit, kakao, kopi, karet, dan lada. Sedangkan komoditas untuk kebutuhan dalam negeri diantaranya adalah tebu, teh, kapas, dan cengkeh. Namun masih disayangkan ekspor perkebunan Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk komoditas primer, bukan produk yang bernilai tambah tinggi. Krisis global tahun 2008 memberikan pembelajaran tersendiri bagi para pelaku industri perkebunan. Terjadinya penurunan drastis harga-harga komoditas pada waktu itu membuat industri ini menjadi muram, terlebih apabila pendapatan terutama diperoleh dari penjualan komoditas primer.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan bisnisnya, yaitu: peningkatan produktivitas lahan, peningkatan kualitas produksi, mengembangkan produk turunan yang bernilai tambah tinggi, pengembangan bisnis ke arah hilir, dan progam kepedulian lingkungan. Untuk melakukan hal tersebut perusahaan perkebunan membutuhkan komitmen dan dukungan penggunaan teknologi yang mendukung operasional, research & development, dan permodalan yang memadai.

Bisnis Perusahaan

Produk-produk yang dijual oleh PT PP London Sumatra Tbk adalah minyak kelapa sawit (CPO), bibit kelapa sawit, tandan buah segar, benih, produk-produk karet, kakao, dan teh. Produk sawit mendominasi penjualan perusahaan hingga mencapai kisaran 80% dari nilai penjualan.

Perkebunan kelapa sawit perusahaan 90% berada di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, sedangkan sisanya berada di Kalimantan Timur. Perusahaan memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma sebagai penunjang produksinya, masing-masing berjumlah 38 dan 14, dan tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara itu, 21 pabrik pengolahan produk perkebunan perusahaan juga tersebar di berbagai pulau untuk mengolah produk primer menjadi produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi.

Pada bulan April 2009, seluruh perkebunan dan pabrik pengolahan CPO milik perusahaan di Sumatera Utara memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainability Palm Oil. Hal ini memberikan gambaran bahwa perusahaan memberikan komitmen nyata dalam menghasilkan produk yang berkelanjutan dan bersahabat dengan lingkungan.

Perusahaan memberikan perhatian yang tinggi bagi research & development. Ini diwujudkan dengan didirikanya Bah Lias Research Station yang terletak di Sumatera Utara dengan fokus penelitian pada pembibitan, agronomi, dan perlindungan tanaman. Selain itu perusahaan juga membangun kerjasama dengan lembaga penelitian pemerintah Ghana untuk mengembangkan dan mengekplorasi budidaya bibit dan pemuliaan kelapa sawit di Afrika.

Kinerja Perusahaan

Seiring dengan pertumbuhan subsektor perkebunan, penjualan perusahaan terus meningkat setiap tahunnya, ditunjukkan dengan pertumbuhan rerata tahunan tahun 2002-2008 sebesar 23,23%. Pada tahun 2008 perusahaan banyak diuntungkan oleh kenaikan harga-harga komoditas terutama penjualan ekspor. Sementara itu penjualan tahun 2009 menurun sebesar 16,81% dibandingkan tahun sebelumnya, dari 3,85 triliun menjadi 3,20 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh terpangkasnya nilai penjualan ekspor hingga mencapai 54,87%.




Pada tahun 2004 perusahaan mengalami ROIC (return on invested capital) negatif, demikian pula laba bersih perusahaan pada tahun tersebut. Kerugian perusahaan pada tahun 2004 disebabkan oleh penyelesaian restrukturisasi hutang. Total hutang perusahaan sebelum restrukturisasi sebesar US$ 228 juta, yang terdiri dari: promissory notes sebesar US$ 20 juta, pinjaman sindikasi bank sebesar US$ 122 juta, dan kontrak berjangka sebesar US$ 86 juta lebih. Sebagian hutang kemudian dikonversi menjadi saham perusahaan.

Setelah tahun 2004 kinerja keuangan perusahaan terus meningkat, ditunjukkan dengan peningkatan ROIC sepanjang tahun 2005 hingga 2008, dari 10,49% hingga mencapai 20,65% pada tahun 2008. Kinerja positif perusahaan juga diiringi dengan komitmen untuk menurunkan tingkat hutangnya, ditandai dengan terus menurunnya debt-to-assets ratio (DAR) menjadi sekitar 35% pada tahun 2008. Untuk diketahui pada tahun 2002 DAR perusahaan mencapai lebih dari 100%.

Seperti pada perusahaan perkebunan yang lain, pada tahun 2008 harga saham perusahaan mengalami penurunan yang sangat tajam, walau kinerja keuangannya justru menunjukkan hal sebaliknya. Sebelum terjadinya krisis, saham perusahaan memberikan average annualized return yang cukup baik, dengan volatilitas harga saham yang cukup stabil. Risiko pasar perusahaan juga cenderung stabil, dengan kinerja keuangan dan potensi perusahaan yang dipersepsikan baik oleh pasar. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





PT Gajah Tunggal Tbk: Masalah dengan Financial Risk Exposure

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 15 Februari 2010




Indonesia memiliki 13 produsen ban dalam negeri dengan kapasitas produksi 45 juta ban roda empat dan 32 juta ban roda dua. PT Gajah Tunggal Tbk masih menjadi penguasa pasar ban Indonesia, kemudian diikuti oleh PT Bridgestone Tire Indonesia dan PT Goodyear Indonesia Tbk. Pasar dalam negeri hanya menyerap 25%-30% dari kapasitas produksi, sedangkan sisanya diekspor ke berbagai negara Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Australia. Nilai total produk ban Indonesia yang diekspor terus bertumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2006, nilai ekspor mencapai US$ 764,5 juta; tahun 2007 mencapai US$ 885,3 juta; dan tahun 2008 mencapai US$ 1,053 miliar. Sedangkan untuk tahun 2009, nilainya diperkirakan mencapai US$ 1-1,2 miliar.

Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diakui dunia internasional dapat mendorong industri ban nasional untuk terus menghasilkan produk yang lebih berkualitas dengan harga yang kompetitif. Di balik cemerlangnya keberhasilan ekspor, industri ban Indonesia masih mengalami permasalahan mendasar terkait persentase impor bahan baku (raw material) pembuatan ban yang hingga saat ini dapat mencapai 60%-70%.

Perkembangan Bisnis dan Keuangan

Perjalanan panjang PT Gajah Tunggal Tbk dan strategi pengembangan yang terus dilakukan, telah membawa perusahaan menjadi produsen ban yang memiliki kekuatan integrasi vertikal pada lini produksinya. Strategi ini dimulai sejak tahun 1991 ketika perusahaan melakukan akuisisi terhadap GT Petrochem Industries, perusahaan yang memproduksi kain ban dan benang nilon. Sampai tahun 1996, perusahaan terus melakukan strategi akuisisi perusahaan yang mendukung supply bahan baku. Namun krisis keuangan Asia memukul perusahaan cukup telak, yang kemudian merubah struktur bisnis perusahaan. Beberapa perusahaan yang sebelumnya diakuisisi kemudian didivestasi sebagai bagian dari program restrukturisasi hutang.

Salah satu kerjasama strategis yang dimiliki perusahaan adalah kerjasama off-take dengan Michelin untuk memproduksi ban, dengan rencana produksi sebesar 5 juta ban per tahun. Selain itu, kerjasama jangka panjang dengan Inou Rubber Company (Jepang) masih terus dilanjutkan dengan model pembayaran royalti atas setiap penjualan yang terjadi. Sedangkan untuk pemasaran dan promosi di Eropa, perusahaan bekerjasama dengan GITI Tire (Europe) BV.

Selama tahun 2006 hingga 2008, penjualan perusahaan terus meningkat setelah sebelumnya terjadi penurunan penjualan pada tahun 2005. Pada tahun 2008, total penjualan perusahaan tercatat sebesar Rp 7,96 triliun, meningkat hampir 20% dari tahun sebelumnya. Pasar ekspor menyumbang sekitar 55% dari total penjualan, dan 45% disumbang dari pasar lokal.




Berdasarkan data Capital Market Trends, tren return on equity (ROE) dan return on assets (ROA) perusahaan mengalami penurunan antara tahun 2003-2008 seiring dengan penurunan laba bersih perusahaan. Sejalan dengan peningkatan penjualan, sejak tahun 2006, rasio total asset turnover (TAT) terus meningkat, walaupun masih belum maksimal (masih di bawah satu). Sementara itu, tingkat hutang perusahaan masih cukup tinggi, ditunjukkan oleh debt-to-assets ratio di atas 80% pada tahun 2008

Financial Risk Exposure

Perusahaan memiliki financial risk exposure yang signifikan terhadap terjadinya krisis pada pasar keuangan, fluktuasi harga komoditas, kurs mata uang dan suku bunga. Semua faktor risiko tersebut memberikan pengaruh signifikan pada kinerja keuangan perusahaan dan kinerja sahamnya. Berdasarkan laporan tahunan 2008, perusahaan mengalami peningkatan biaya material sebesar 38,12% dibandingkan dengan tahun 2007, sehingga total cost of sales meningkat sebesar 24,50% pada tahun 2008. Perusahaan juga mengalami peningkatan beban bunga dan keuangan untuk obligasi sebesar 15,86%. Di lain pihak, perusahaan mengalami peningkatan kerugian kurs mata uang asing pada 2008 hingga mencapai 495,14%, atau senilai Rp 786 miliar. Bahkan nilai total ekuitas perusahaan mengalami penurunan 30,87% dibandingkan tahun 2007.




Risiko pasar modal juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perusahaan dalam melakukan pendanaan untuk kepentingan operasional dan kebutuhan strategi pertumbuhan perusahaan. Pada tahun 2007, perusahaan melakukan right issue dan penerbitan obligasi, namun krisis pasar keuangan memberikan dampak penurunan nilai saham dan obligasi perusahaan, sehingga menyebabkan perusahaan memutuskan untuk tidak melakukan pendanaan melalui aksi pasar pada tahun 2008.

Berdasarkan informasi yang termuat dalam Capital Market Trends, nilai saham perusahaan sejak tahun 2005 mengalami tren penurunan sejalan dengan penurunan earnings per share (EPS). Walaupun volatilitas harga saham perusahaan termasuk dalam kategori moderat, namun market risk (beta) saham perusahaan berfluktuasi cukup tinggi (antara 0,88-2,11). Sementara itu, persepsi pasar terhadap kinerja perusahaan, baik dari sisi kinerja saat ini maupun kinerja di masa yang akan datang, dinilai cukup rendah dan berada di bawah rata-rata perusahaan-perusahaan dalam pengamatan CAPITAL PRICE.


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





PT Kalbe Farma Tbk: Kinerja yang Kurang Didukung Penguatan Riset

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 08 Februari 2010



Industri farmasi adalah industri manufaktur yang sangat padat akan pengetahuan dengan tingkat penelitian yang paling tinggi dan inovatif dibandingkan industri manufaktur lainnya. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa perusahaan-perusahaan dengan alokasi dana penelitian dan pengembangan (R&D) yang besar dan konsisten akan menjadi pemimpin di industrinya.

Perkembangan globalisasi industri farmasi memberikan tantangan tersendiri bagi industri farmasi Indonesia. Terlebih dengan berjalannya harmonisasi regulasi farmasi ASEAN yang menciptakan pasar tunggal farmasi di ASEAN, memberikan peta persaingan industri farmasi yang lebih kompleks dan lebih ketat. Perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dituntut untuk mampu meningkatkan competitive advantage-nya, paling tidak melalui tiga hal berikut: mempertahankan pasar domestik, mengembangkan pasar ekspor, dan membangun aliansi strategis yang tepat.

Walaupun konsumsi obat per kapita Indonesia masih paling rendah di antara negara-negara ASEAN, namun rerata pertumbuhan industri farmasi Indonesia berada di kisaran 13%-15% per tahun dan merupakan potensi pasar farmasi terbesar di ASEAN. Pada tahun 2004 pemerintah mulai menggalakkan program asuransi kesehatan bagi masyarakat, yang berdampak pada jumlah belanja produk-produk kesehatan oleh masyarakat terus meningkat. Pada tahun 2009 pasar farmasi Indonesia mencapai kisaran Rp 30 triliun, dengan struktur sekitar 30% produk farmasi asing dan 70% produk farmasi domestik.

Kinerja Keuangan Perusahaan


PT Kalbe Farma Tbk memiliki empat (4) segmen bisnis, yaitu: obat resep, produk kesehatan, produk nutrisi, dan, distribusi dan kemasan. Keempat segmen bisnis ini memberikan kontribusi yang hampir berimbang dengan pertumbuhan penjualan perusahaan yang terus meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini memberikan gambaran kemampuan perusahaan dalam membangun segmen bisnisnya, bahkan saat ini perusahaan telah melakukan ekspansi ke negara-negara ASEAN. Walaupun nilai total ekspor yang diperoleh masih cukup kecil, sekitar 4%-6% dari total penjualan.


Seperti kebanyakan perusahaan farmasi Indonesia, PT Kalbe Farma Tbk terutama mengandalkan pada produksi dan pemasaran branded generic, obat generik, dan obat lisensi dari perusahaan farmasi luar negeri. Walaupun saat ini perusahaan memiliki penjualan dan tingkat keuntungan yang baik, tetapi alokasi R&D perusahaan hanya di bawah 1% dari total penjualan. Nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan farmasi internasional, yang dapat mencapai 15%-20% dari total penjualan perusahaan.


Sumber: Capital Market Trends, CAPITAL PRICE


Sejak tahun 2006 perusahaan telah menurunkan tingkat hutangnya, debt-to-assets ratio (DAR) perusahaan stabil di kisaran 35%. Sedangkan net profit margin perusahaan cenderung stabil di kisaran 10%-12%, kecuali tahun 2008. Kontras dengan penurunan hutang, peningkatan penjualan, dan stabilnya marjin laba bersih; return on equity (ROE) perusahaan menurun secara konsisten dari tahun ke tahun. Hal ini lebih disebabkan oleh pertumbuhan ekuitas perusahaan yang tinggi dari kontribusi keuntungan perusahaan.


Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2009, total investasi perusahaan adalah sebesar Rp 1,08 triliun (1,5 kali dari nilai yang diinvestasikan pada tahun 2008). Terbagi atas Rp 374,74 miliar untuk investasi jangka pendek dan deposito berjangka, Rp 519,90 miliar untuk penambahan investasi pada anak perusahaan, dan Rp 187,34 miliar untuk perolehan aktiva tetap. Dengan demikian, walaupun alokasi R&D perusahaan terlihat kecil, tetapi perusahaan tetap memberikan perhatian kepada pengembangan bisnis perusahaan ke depan dengan nilai investasi pada anak perusahaan dan aset yang cukup besar.


Kinerja Saham dan Persepsi Pasar


Harga saham perusahaan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2002 hingga tahun 2005, dan cenderung stabil dalam kurun waktu 2006 sampai akhir tahun 2008. Pada saat terjadi krisis keuangan global, harga saham perusahaan terus mengalami penurunan hingga akhir tahun 2009, dan kembali menguat seiring dengan penguatan pasar.


Sumber: Capital Market Trends, CAPITAL PRICE


Secara umum kinerja saham perusahaan masih kalah dibandingkan kinerja pasar, didasarkan pada perbandingan tingkat volatilitas terhadap rerata return tahunan perusahaan yang seringkali dibawah IHSG. Tingkat volatilitas tahunan harga saham perusahaan cenderung stabil dan mulai meningkat sejak awal 2009, seiring dengan peningkatan kembali harga sahamnya.


Sesuai pengamatan CAPITAL PRICE, pasar masih mempersepsikan perusahaan ini sebagai perusahaan yang lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan lainnya. Hal ini dicerminkan oleh persepsi pasar terhadap kinerja perusahaan saat ini (current performance) dan persepsi pasar terhadap kinerjanya di masa depan (future growth opportunity) yang lebih tinggi dari rata-rata perusahaan lainnya. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel





PT Adhi Karya Tbk: Antara Pertumbuhan dan Risiko

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 01 Februari 2010




Perkembangan infrastruktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN. Kondisi ini menjadi cukup dilematis, terlebih tuntutan globalisasi dan perdagangan bebas semakin meningkat. Keseluruhan kebutuhan dana investasi infrastruktur sepanjang tahun 2010-2014 diperkirakan mencapai hampir Rp 2000 triliun, suatu nilai yang cukup besar. Beberapa infrastructure summit yang dilakukan pemerintah masih kurang mendapat respon dari investor. Sebagaimana diketahui, perusahaan-perusahaan yang ada dalam bisnis di indusrtri infrastruktur dan konstruksi mengalami risiko bisnis yang cukup besar dan karakter pengembalian investasi yang panjang.

Total nilai kue pasar konstruksi 2009 sekitar Rp 170 triliun, dan pada tahun 2010 diperkirakan nilai pasar konstruksi akan meningkat sekitar 8%-10%. Hal ini menunjukkan bahwa proyeksi tahun 2010 pertumbuhan pasar konstruksi akan kembali normal seperti pada tahun 2003-2007. Perkembangan sektor konstruksi dan infrastruktur memberikan peluang yang besar bagi PT Adhi Karya Tbk (ADHI) sebagai salah satu perusahaan kontraktor besar dan mampu menembus pasar luar negeri.

Kinerja Keuangan: Pertumbuhan dan Risiko Bad Debt

Penjualan perusahaan sejak tahun 2002 hingga tahun 2008 terus meningkat, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 27,36%. Hal ini menunjukkan perusahaan mampu terus mengembangkan bisnisnya. Penghasilan perusahaan terutama dibagi dalam tiga golongan jenis bisnis, yaitu construction services, EPC services, dan investment. Dalam bisnis construction services, perusahaan menggarap proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan gedung. Dalam bisnis EPC services, perusahaan mengerjakan proyek-proyek pembangkit tenaga listrik dan konstruksi untuk industri minyak dan gas. Sedangkan bisnis investment adalah investasi pada anak-anak perusahaan yang bergerak dalam bidang properti, konstruksi, dan perdagangan. Penghasilan perusahaan sekitar 90% masih dikuasai oleh construction services.

Peningkatan penjualan tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 33,50%. Sebaliknya keuntungan bersih menurun sebesar 26,99%. Penurunan ini disebabkan terutama oleh dua faktor, yaitu meningkatnya alokasi bad debt expense sebesar Rp 146 miliar dan beban risiko valuta asing terhadap laporan keuangan perusahaan sebesar Rp 12 miliar.



Alokasi bad debt expense terutama dari alokasi piutang perusahaan yang kemungkinan tidak dapat diperoleh, dan hilangnya nilai investasi pada suatu perusahaan. Salah satunya adalah terkait dengan proyek pembangunan monorail di Jakarta. Nilai proyek yang dilakosikan oleh perusahaan yang tidak dapat tertagih adalah sebesar Rp 26,7 miliar dan nilai investasi pada perusahaan PT Jakarta Monorail sebesar Rp 13,9 miliar (setara dengan 7,65% kepemilikan saham). Salah satu proyek lainnya yang mengalami permasalahan adalah pembangunan jembatan Dumai, dengan nilai piutang usaha yang dibebankan mencapai Rp 16,4 miliar.

Pada tahun 2009 keuntungan perusahaan diperkirakan akan meningkat sekitar 40%-50% dari keuntungan bersih tahun sebelumnya. Meningkatnya keuntungan ini selain dari peningkatan pendapatan perusahaan juga terkait dengan telah dialokasikannya bad debt expense yang signifikan pada tahun sebelumnya. Diharapkan tidak timbul lagi hal-hal seperti ini pada laporan keuangan 2009 maupun pada perkembangan bisnis perusahaan ke depannya.

Sementara itu, kinerja keuangan perusahaan berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2008 menunjukkan peningkatan penjualan dan keuntungan bersih. Masing-masing sebesar 32,65% dan 22,99% dibandingkan periode yang sama tahun 2007. Namun keuntungan operasional menurun sebesar 15,71%.

Kinerja Pasar: Penurunan Kinerja dan Tingginya Fluktuasi Harga


Berdasarkan pengamatan CAPITAL PRICE, kinerja pasar perusahaan terus mengalami penurunan sejak tahun 2005. Data Capital Market Trends menunjukkan PER dan PBV terus menurun tajam sepanjang tahun 2005 hingga 2009, demikian pula shareholder market value added (SMVA). PER, PBV, SMVA perusahaan pada 2005 tercatat masing-masing sebesar 22,64 kali, 4,83 kali, dan 382,93%. Kemudian pada 2009 tercatat 6,43 kali, 0,91 kali, dan minus 8,74%. Hal ini menjadi kontras apabila dibandingkan dengan pertumbuhan perusahaan, baik dari penjualan maupun keuntungan. Terlebih apabila diperhatikan ROE perusahaan cenderung stabil sepanjang tahun pengamatan, kecuali tahun 2008.


Sumber: Capital Market Trends, CAPITAL PRICE


Harga saham perusahaan sangat fluktuatif. Sepanjang tahun 2004 hingga 2009 pergerakan harga saham perusahaan berada pada kisaran Rp 400 – Rp 1600, suatu kisaran yang sangat lebar. Harga saham perusahaan memiliki volatilitas yang cukup tinggi dengan rerata nilai deviasi standar berada di atas 60%, bahkan pernah mencapai lebih dari 100%. Risiko pasar perusahaan (diwakili oleh beta) menunjukkan rerata angka dikisaran 1,5-2,0; suatu nilai yang juga cukup tinggi.

Berdasarkan penjelasan kinerja keuangan dan kinerja pasar, seolah-olah kinerja pasar saham perusahaan kurang memiliki hubungan yang selaras dengan fundamental perusahaan. Tetapi, antara kinerja keuangan dan kinerja pasar perusahaan sama-sama mencerminkan risiko yang tinggi. Salam Investasi!


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel



Thursday, April 29, 2010

Kerangka Memaksimalkan Nilai Perusahaan

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 15 April 2010



Metrik yang umum digunakan dalam menilai suatu perusahaan adalah enterprise value (EV). Pemahaman akan EV akan membantu perusahaan dalam menjaga dan meningkatkan nilai perusahaannya, terlebih EV dengan perspektif jangka panjang dan sustainability suatu bisnis.

Menurut Horie dan Kim (2009), definisi EV berdasarkan akuntansi dengan definisi sempit adalah jumlah nilai ekuitas dan nilai hutang perusahaan. Sedangkan definisi luasnya termasuk intangible assets, yang diantaranya adalah leasehold, goodwill, dan trademark right.

Definisi EV dari sisi investor berbeda dengan definisi akuntansi. Bagi investor EV adalah business value perusahaan, atau nilai jual/beli perusahaan yang telah memperhitungkan nilai aset, hutang, dan ekuitas perusahaan. Sedangkan intangible assets yang dilihat oleh investor biasanya adalah kualitas bisnis perusahaan dan kualitas manajemennya, apakah berpihak pada long-term value creation.



Gambar 1. Enterprise Value dari Sisi Investor vs Enterprise Value Terminologi Akuntansi

Sumber: Horie dan Kim (2009), NRI Papers No. 148, November 1, 2009



Maksimalisasi EV sebaiknya menjadi tujuan perusahaan dalam menjalankan operasional bisnisnya. Ada tiga hal utama yang dapat dilakukan perusahaan untuk dapat mencapainya sebagaimana berikut ini.

Kesehatan Jangka Panjang Perusahaan

Kesehatan perusahaan berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan operasionalnya saat ini dan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi pertumbuhan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, perusahaan diharapkan memiliki kemampuan dalam memperjelas perbedaan antara kinerja jangka pendek dengan kesehatan perusahaan. Bisa saja saat ini kinerja perusahaan sangat baik, namun kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi area-area pertumbuhan baru dan mengejar potensi pertumbuhan tersebut sangat lemah.

Terdapat beberapa komponen generik suatu perusahaan yang disebut perusahaan sehat, yaitu: 1) strategi yang baik, 2) produktif, 3) aset yang terjaga dengan baik, 4) produk, jasa, dan proses yang inovatif, 5) reputasi yang baik di mata customer, regulator, pemerintah, dan pemangku kepentingan yang lain, dan 6) kemampuan untuk menarik minat, menjaga, dan membangun bakat-bakat yang berkualitas (Davis, 2005).

ESG (Environmental, Social, dan Governance)

Saat ini perusahaan mengalami tekanan yang tinggi dari berbagai pihak untuk semakin memperhatikan isu lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola perusahaan (governance). Bonini, Koller, dan Mirvis (2009) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang jelas antara tujuan keuangan keuangan perusahaan dengan reputasinya dalam ESG yang memenuhi kebutuhan komunitas, dan melebihi persyaratan peraturan dan norma industri yang berlaku. Lebih lanjut mereka mengatakan, program ESG yang dilakukan perusahaan dapat menciptakan nilai bagi dirinya dengan mendukung pertumbuhan, peningkatan return on capital, pengurangan risiko, atau meningkatkan kualitas manajemen.

Pentingnya perusahaan melakukan program-program ESG dilandasi oleh dibutuhkannya legitimasi masyarakat oleh perusahaan didalam area operasionalnya. Dengan demikian perusahaan dapat memiliki kemampuan survival dalam jangka panjang dan kemudian tujuan shareholder value creation menjadi dapat lebih difokuskan. Bagi masyarakat, kehadiran perusahaan juga sangat penting, karena perusahaan dapat memberikan keuntungan, seperti tersedianya produk dan jasa yang dibutuhkan, terciptanya lapangan pekerjaan, dan lainnya. Reciprocal relationship (hubungan timbal balik) seperti ini menjadi landasan “kontrak bisnis” antara perusahaan dan masyarakat.

Komunikasi dan Keterbukaan terhadap Pemegang Saham

Komunikasi dan keterbukaan terhadap pemegang saham menjadi sangat penting dalam proses value creation perusahaan. Investor membutuhkan kejelasan bagaimana bisnis perusahaan bekerja menciptakan nilai dan kejujuran manajemen perusahaan dalam menilai kinerjanya sendiri. Lingkungan saat ini jauh lebih menuntut transparansi perusahaan. Demikian pula investor lebih menghargai perusahaan dengan transparansi yang memadai. Investor lebih menghargai perusahaan yang memberikan diskusi manajemen yang fair dan berimbang sehingga dapat memberikan gambaran tentang kualitas tim manajemen dan bagaimana potensial future value creation.

Menurut Palter dan Rehm (2009) semakin transparannya data keuangan dan operasional, pengukuran kinerja yang jujur, dan panduan tentang metrik yang digunakan eksekutif dalam menjalankan perusahaan akan membantu investor untuk membangun opini yang terinformasi tentang potensial value creation, kualitas manajemen, dan profil risiko bisnis perusahaan. Lebih lanjut, mereka mengatakan, dalam prosesnya manajemen akan memperoleh feedback yang berharga dari investor, misalnya tentang pertumbuhan perusahaan dan kinerja perusahaan relatif terhadap pesaingnya.


Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel