Wednesday, February 25, 2009

A Tribute For Entrepreneur: A Financial Perspective



Dulu saya membayangkan menjadi entreprenuer itu enak, punya bisnis, punya penghasilan besar dan lain-lain yang enak-enak. Namun ternyata untuk mencapai itu semua tidak semudah itu. Salah satu hal yang sangat menyulitkan entrepreneur adalah masalah pendanaan, baik untuk kebutuhan investasi maupun modal kerja. Sepanjang pengamatan bagi perusahaan-perusahaan yang baru dibangun atau baru mau dibangun mencari pendanaan begitu sulit, pontang-panting namun terkadang tidak menghasilkan apa-apa. Terlebih bila mencari ke bank, sudah pasti ditolak apabila umur perusahaan belum mencapai 2 tahun (untuk Indonesia), belum lagi harus memiliki jaminan tertentu untuk pinjaman yang diajukan. Kecuali kalau sang entrepreneur dapat memperoleh fasilitas personal guarantee, maka walaupun umur perusahaan masih sangat baru namun bisa memperoleh pinjaman pendanaan dari bank. Tetapi hal ini seperti virtuous circle, untuk memperoleh fasilitas personal guarantee biasanya yang menjadi pegangan oleh bank adalah adanya perusahaan yang sudah establish yang menjadi penjamin perusahaan baru atau minimal jaminan aset yang cukup besar. Untuk perusahaan baru tentunya hal tersebut tidaklah mudah, terlebih bila perusahaan baru yang dibangun adalah benar-benar start dari nol, hanya bermodalkan mimpi dan semangat.

Secara umum pemodalan entrepreneur bertumpu pada kombinasi antara hutang dan ekuitas. Hutang modal akan membebani perusahaan dengan bunga dan berbagai persyaratan perjanjian yang membatasi perusahaan dalam kegiatan operasionalnya terutama dalam hal kinerja keuangan. Sedangkan ekuitas akan membebani perusahaan dengan dividend dan capital gain, belum termasuk keterlibatan pemberi modal dalam manajemen perusahaan. Pada akhirnya seorang entrepreneur harus berpikir cermat dan cerdas dalam memutuskan komposisi sumber pendanaan modal dengan mempertimbangkan sisi cost-benefit dan risk-return. Tentunya semua entrepreneur menginginkan cost dan risk yang serendah-rendahnya namun dapat memperoleh benefit dan return yang setinggi-tingginya. Namun benefit dan return yang diterima entrepreneur akan menjadi cost dan risk bagi pemberi modal, demikian pula sebaliknya.

Paling tidak ada tiga tahapan dalam perjalanan pertumbuhan perusahaan, yaitu start-up, growth dan internasionalisasi. Pada tahap start-up perusahaan telah menyelesaikan pembangunan produk dan initial marketing, memiliki sedikit pendapatan, membangun basis pelanggan, masih belum menguntungkan, membutuhkan pendanaan agar dapat beroperasi, dan memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Sumber pendanaan bagi perusahaan start-up masih sulit, akses kepada bank masih sangat terbatas jika tidak ingin dibilang tidak ada, dan sumber pendanaan biasanya menuntut pinjaman yang dengan jaminan yang aman. Bila sumber pendanaan dapat diperoleh dari institusi keuangan, biasanya akan diminta bukti pencatatan transaksi keuangan yang telah berjalan terutama catatan keluar-masuk uang pada rekening bank. Untuk perusahaan yang telah memiliki permintaan (order) dari pelanggan (terutama untuk perusahaan yang memiliki aktifitas ekspor-impor) institusi keuangan biasanya mau memberikan fasilitas letter of credit dan trust receipt. Oleh karena itu, umumnya untuk perusahaan start-up pemodalan terutama diperoleh dari angel investor, yaitu investor yang memiliki dana namun mau menanamkannya pada perusahaan dengan risiko yang tinggi. Angel investor biasanya adalah entrepreneur yang telah sukses yang dahulunya juga mengalami hal yang sama pada waktu perusahaannya masih pada tahap start-up. Pada negara maju, perusahaan start-up dapat langsung memanfaatkan over-the-counter (OTC) market atau pasar yang memperdagangkan instrumen keuangan langsung antara pihak pembeli dan penjual dengan biasanya melalui perantaraan dealer.

Pada tahap growth perusahaan telah memiliki bisnis yang menguntungkan dengan basis pelanggan yang telah stabil. Perusahaan membutuhkan modal untuk mendukung pertumbuhan penjualan, dana yang diperoleh perusahaan biasanya digunakan untuk meningkatkan kapasitas produk, memperkuat brand, dan membangun bisnis yang lebih besar. Dengan kondisi ini institusi keuangan biasanya dapat membantu perusahaan dengan memberikan fasilitas-fasilitas seperti letter of credit dan trust receipt untuk pembelian, factoring untuk penjualan, dan pinjaman untuk fixed asset. Pada tahap growth fasilitas-fasilitas yang diberikan institusi keuangan dapat dikatakan berada dalam kondisi yang terjamin, sedangkan di lain pihak investor korporasi mau memberikan modal dalam bentuk kepemilikan saham. Pendanaan juga dapat diperoleh di pasar modal dengan perusahaan melakukan initial public offering (IPO) sehingga perusahaan dapat memperoleh modal dari masyarakat secara langsung, tentunya dengan memenuhi berbagai kondisi yang dipersyaratkan oleh regulator pasar modal.

Setelah berhasil melalui tahap growth, perusahaan dapat memasuki tahap insternasionalisasi. Sebelum memasuki tahap ini perusahaan berada dalam kondisi memiliki rekam jejak keuntungan yang baik dan telah secara sukses melakukan bisnis di pasar lokal atau dapat dikatakan telah mencapai pada kondisi yang establish (mapan). Pertumbuhan perusahaan dikejar dengan mengekplorasi kesempatan-kesempatan yang tersedia di pasar luar negeri. Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melakukan joint venture, merger, acquisition, dan strategic alliance dengan perusahaan lainnya terutama perusahaan lain yang beroperasi di luar negeri. Institusi keuangan dapat membantu pendanaan operasional perusahaan seperti fasilitas pendanaan proyek dan syndicated loan bahkan dengan berbagai fasilitas produk keuangan yang lebih rumit seperti produk derivative dan produk structured finance lainnya. Untuk perusahaan yang masih private, akan lebih mudah untuk menjalani tahap ini jika melakukan IPO, sehingga pendanaan internasional dapat lebih mudah diperoleh. Bahkan perusahaan dapat mencatatkan diri di pasar modal luar negeri. Selain itu perusahaan juga dapat mengumpulkan uang dengan menerbitkan obligasi dan commercial paper selain berbagai corporate action yang dilakukan terkait dengan pencatatan sahamnya, seperti right issue dan lainnya.

Dari uraian tersebut di atas, tergambar bahwa banyak hal yang harus diperhatikan oleh seorang entreprenuer agar perusahaannya terus bertumbuh dan berkembang. Padahal yang dibahas baru dari sisi keuangan saja belum dari sisi operasional, organisasi, legal, sumber daya manusia, dan lainnya. Tulisan ini merupakan penghargaan bagi entrepreneur yang telah dengan susah payah mau mewujudkan visi dan misinya, membangun dari yang tidak ada menjadi ada, berani bermimpi dan berani mewujudkannya. Tentunya hal ini terlebih bagi entrepreneur dengan perusahaan yang memiliki good governance, ethical behavior, dan environmental concern sehingga memberikan nilai tambah bagi semua stakeholder-nya.

Siklus Pasar: Antara Ekspektasi dan Nilai



Sepanjang tahun 2006-2007 Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dikategorikan berada dalam bull market. Istilah bull market menggambarkan tingginya ekspektasi dan kepercayaan investor terhadap kinerja masa depan sehingga terjadi peningkatan harga-harga sekuritas. Kemudian pada tahun 2008/2009 terjadi perubahan siklus pasar, harga-harga saham di BEI mengalami penurunan tajam, BEI dapat dikategorikan berada dalam bear market. Istilah bear market menggambarkan terjadinya penurunan harga-harga sekuritas secara terus menerus, meluasnya pesimisme investor dan sentimen negatif di dalam pasar. Dalam bear market, kerugian lebih dalam diantisipasi dengan melakukan penjualan sekuritas, sehingga harga-harga sekuritas terus menerus menurun. Kondisi bear market saat ini yang juga terjadi di seluruh pasar keuangan dunia dengan penyebab utamanya adalah krisis subprime mortgage (krisis yang dipicu oleh surat utang yang berbasis perumahan bagi nasabah berisiko tinggi) di Amerika Serikat.

Growth Stock vs Value Stock

Pembagian karakteristik saham paling umum terbagi dalam dua kategori, yaitu growth stock dan value stock. Yang dimaksud dengan growth stock adalah saham dengan pertumbuhan pendapatannya melebihi rata-rata pasar, juga memiliki price-earnings ratio (PER, rasio antara harga saham dengan pendapatan) dan price-to-book ratio (PBV, rasio antara harga saham dengan nilai buku) melebihi rata-rata pasar. Sedangkan value stock adalah saham yang dipersepsikan memiliki pendapatan dan memberikan dividen yang stabil, juga memiliki PER dan PBV yang rendah. Seringkali value stock didefinisikan sebagai saham yang memiliki harga di bawah harga wajarnya (undervalued).

Pada saat bull market yang sering mendapat perhatian investor adalah saham-saham dalam kategori growth stock, karena dapat memberikan tingkat keuntungan investasi yang tinggi. Saham-saham dalam value stock seringkali diabaikan karena dianggap kurang menguntungkan, juga dipersepsikan membosankan untuk investasi dalam masa-masa peningkatan harga saham. Biasanya peningkatan harga saham value stock dalam bull market lebih rendah dibanding
kan growth stock sehingga menjadi tidak menarik bagi investor. Namun ketika bear market tiba, saham-saham dalam kategori value stock kembali menjadi perhatian investor, sementara saham-saham growth stock biasanya mengalami kejatuhan harga di atas rata-rata pasar.

Dutch Disease

Perhitungan nilai wajar (valuation) saham pada kondisi bull market seringkali keluar dari metode-metode umumnya. Contohnya seperti pada saat dotcom bubble tahun 2000 di Amerika, perusahaan dotcom yang baru saja dibentuk dapat memiliki nilai yang sangat tinggi, walaupun sebenarnya pendapatan perusahaan tersebut belum stabil bahkan belum ada. Adanya ekspektasi yang berlebihan terhadap masa depan perusahaan-perusahaan dotcom memancing untuk terbentuknya banyak sekali perusahaan yang bergerak pada industri yang sama, supply dan demand menjadi tidak seimbang.

Membandingkan dengan kondisi BEI tahun 2006-2007, kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) banyak didorong oleh peningkatan harga saham-saham sektor komoditas. Pasar memberikan ekspektasi yang tinggi pada sektor tersebut, namun tidak seimbang terhadap sektor lainnya. Dengan kondisi tersebut, jadi teringat dengan istilah Dutch disease, yang pertama kali dipopulerkan oleh majalah The Economist pada tahun 1977. Ducth disease adalah suatu kondisi yang menggambarkan hubungan antara terjadinya booming sektor sumber daya alam, sehingga memberikan revenue yang besar di sektor tersebut, namun di sisi lain sektor manufaktur menjadi kurang kompetitif. Terjadinya kenaikan harga-harga komoditas sumber daya alam yang tajam juga dapat termasuk dalam terminologi Dutch disease. Negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah-ruah akan memperoleh pemasukan dalam valuta asing yang sangat banyak, sehingga menyebabkan penguatan mata uang negara tersebut. Paling tidak ada dua efek utama dengan terjadinya Dustch disease, yaitu: 1) terjadinya penurunan daya saing harga di sektor manufaktur, dan 2) terjadinya peningkatan import.

Booming sektor komoditas yang terjadi dapat dikatakan didorong oleh peningkatan harga minyak dunia dan kemudian juga diikuti oleh komoditas yang lain. Bagi Indonesia membawa implikasi terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas yang memberikan beban berat pada sektor manufaktur. Hasil kenaikan BBM dan bahan bakar gas membawa inflasi yang menjadi double digit yang semula prediksi inflasi tahun 2008 hanya di sekitar 6,5%. Dengan kondisi ini banyak industri di Indonesia mengalami kesulitan bahkan mengalami penurunan daya saing yang cukup tajam.

Terindikasi pula terjadi ekspektasi berlebihan tentang peluang pertumbuhan di masa depan beberapa perusahaan di BEI, terutama sektor komoditas, sehingga investor menilai harga-harga saham menjadi terlalu tinggi. Misalnya pada kasus BUMI (PT Bumi Resources), pada saat harga tertingginya dapat mencapai lebih dari Rp 8500, saat ini hanya di kisaran Rp 500, atau terjadi penurunan nilai lebih dari 90%.